Minggu, 26 Juni 2011

Makam I Sawerannu Memperihatinkan


Makam I Sawerannu Memperihatinkan


MAKASSAR (TCN) — Inilah Makam Raja Tallo VII bersama makam Istri Beliau, I Sawerannu. Sawerannu adalah putri asal Toraja yang diperistrikan Raja Tallo VII yang bergelar Macan Bulenga Ri Tallo. Di masa kepemimpinannya, Beliau terkenal sebagai Raja yangg arif dan bijaksana.
Warga TCN, Sulwan Dase yang mengunjungi Makam Raja Tallo VII bersama makam Istri Beliau di kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Makassar melaporkan kondisinya saat ini sangat memperihatinkan. Penutup makam sudah rusak sehingga yang ada hanya batu Nisan Beliau saja.
Datang dan lihatlah, betapa memprihatinkannya makam Istri raja Tallo VII dari Toraja yang bernama I SAWERANNU. Seharusnya kita orang Toraja yang hiduo di jaman ini memperdulikan hal ini. Sebab makam Beliau ini adalah satu-satunya situs bukti hubungan kekerarabatan antara orang-orang Gowa dan Toraya.

Kompleks Makam Raja-Raja Tallo dapat menjadi salah satu objek wisata sejarah di Makassar. Namun, selain promosi yang kurang, akses ke lokasi makam perlu mendapat perhatian.
Bagi yang rindu untuk berziarah, silahkan ke Makam Raja_Raja Tallo di Makassar.
Sumber TCN
»»   Selengkapnya...


RANTEPAO (TNO posting TCN)– Pemerintah Kabupaten Toraja Utara melaksanakan upacara bendera dalam rangka memperingati hari pahlawan nasional Pongtiku yang ke-9 yang dipusatkan di lapangan Sepakbola Pongtiku dan Taman Makam Pahlawan Pongtiku di Pangala’ Kecamatan Rindingallo Kabupaten Toraja Utara, Senin (18/7). Citizen Reporter TCN, Tamar Pambunan mengirimkan sejarah singkat Pahlawan Nasional Pongtiku berikut ini yang dibacakan pada upacara peringatan tersebut.
Pongtiku lahir sebagai anak bungsu dari pasangan suami istri Karaeng dan Le’bok pada petengahan Abad ke XIX (1846) di Tondon Pangala’. Karaeng adalah penguasa adat Pangala’ dan sekitarnya. Karena kemampuan dan kepemimpinan Pongtiku yang menonjol, maka sekalipun ia anak bungsu dialah yang menggantikan ayahandanya sebagai penguasa tatkala ayahnya sudah tua.
Sebelum Angkatan Perang Belanda datang di Tana Toraja, orang Toraja telah mempunyai hubungan dagang dengan orang Bugis.
Toraja Selatan dan Toraja Barat menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito sedang Toraja Utara mitra dagangnya adalah kerajaan Bone dan Luwu.
Pimpinan orang Bugis dan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito adalah Petta Manyoro Lolo (Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sidenreng) yang kemudian diketahui bernama Petta Serang, anak dari Raja Sidenreng, sedang pimpinan orang Bugis dari Kerajaan Bone dan Luwu adalah Petta Punggawa (Panglima tertinggi Angkatan Perang Bone, yang juga adalah Putra mahkota dengan nama Andi Baso’ Abdul Hamid)
Melalui hubungan dagang antara orang Bugis dan orang Toraja tersebut pemimpin-pemimpin Toraja dapat mengetahui bahwa akan pecah perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau lagi mengakui Perjanjian Bungaya yang mengatur hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan yang sangat merugikan.
Untuk mengantisipasi perang yang akan pecah dalam waktu tidak lama penguasa-penguasa Toraja mengadakan musyawarah di Tongkonan Buntu Pune Kesu’ (Kediaman Pongmaramba’) dan mencapai kesepakatan antara lain :
Menggalang persatuan antar penguasa dengan menghilangkan semua benih-benih perpecahan dan mengangkat Pongtiku Panglima Perang sedang Pongmaramba’ dan penguasa-penguasa adat lainnya sebagai Panglima Pasukan Penghancur.
Kesepakatan mereka didasari motto : “Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate”.
Selesai musyawarah, Pongtiku kembali ke daerahnya untuk mempersiapkan dan menyiagakan benteng-bentengnya sebanyak 9 (Sembilan) buah menghadapi perang.
Pada bulan Maret 1906, pasukan Angkatan Perang Belanda di bawah Pimpinan Kapten Killian dengan tujuan melucuti dan mengumpulkan senjata api dari semua penguasa Toraja. Komandan pasukan Belanda memerintahkan Pongtiku datang menghadap dan menyerahkan semua senjata yang dimilikinya. Pongtiku menolak, malah ia menyiagakan semua benteng-bentengnya menghadapi perang.
Perang perlawanan Pongtiku dalam daerahnya sendiri berlangsung selama kira-kira 6 bulan (Mei s/d Oktober 1906) dengan 6 kali pertempuran dan 1 kali pengepungan selama kira-kira 4 bulan (Juli s/d Oktober 1906).
Pertempuran tanggal 1 Juni 1906 untuk mempetahankan Benteng Buntu Asu dari serangan Angkatan Perang Belanda di bawah Komando Kapten De Last yang dilakukan dalam 3 gelombang semuanya kandas di muka Benteng dengan menelan banyak korban, Angkatan Perang Belanda dipukul mundur dan dihalau kembali ke Rantepao.
Pongtiku adalah penantang utama datangnya penjajah Belanda di Tana Toraja dan Toraja Utara dan dengan gigih dan gagah perkasa dengan segala kemampuan yang ada padanya mengobarkan perang lebih setahun lamanya, tepatnya dari bulan Mei 1906 s/d Juli 1907.
Ia bertahan dan menyerang musuhnya dari benteng-benteng yang jumlahnya 9 buah yang telah dipersipakan sejak dini. Perang Pongtiku melawan Belanda bukanlah tindakan spontanitas akan tetapi adalah perang yang direncanakan dan dipersiapkan dengan matang yangn merupakan bagian integral dari perang perlawanan Raja-Raja di Sulawesi Selatan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda disebut sebagai Perang Bone III. Demikian hebatnya pertahanan dan perlawanan Angkatan Perang Pongtiku terhadap gempuran Angkatan Perang Belanda, mengharuskan Letjen Swart yang dijuluki oleh Belanda sebagai Pasifikator Van Aceh (Pengaman Aceh) mengambil Komando pertempuran melawan Angkatan Perang Pongtiku yang bertahan tak terkalahkan dalam Benteng Batu di Baruppu’.
Belanda dengan menggunakan taktik seperti taktik yang digunakan terhadap Pangeran Diponegoro, Pongtiku menerima Case Fire, untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Belanda. Kesempatan ini digunakan oleh Belanda untuk membatasi gerak Pongtiku, tetapi Pongtiku menggunakan pula kesempatan yang sama untuk menyelenggarakan Upacara Pemakaman kedua orang tuanya yang wafat dalam Benteng menurut adat Toraja. Sehari sebelum selesai upacara pemakaman kedua orang tuanya, Pongtiku dengan sejumlah pasukan kembali ke medan juang bergabung dengan teman-teman seperjuangannya di Benteng Ambeso yang dipimpin oleh Bombing dan Ua’ Saruran dan Benteng Alla’ dalam Wilayah Enrekang.
Setelah Benteng Ambeso dan Benteng Alla’ jatuh ke tangan Belanda pada Bulan Januari 1907 Pongtiku tidak tertawan, ia berhasil lolos bersama pasukannya kembali ke wilayah kekuasaannya. Dengan petunjuk mata-mata Belanda ia tertangkap lalu di bawa ke Rantepao. Tanggal 10 Juli 1907, ia dieksekusi dan gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa di pinggir Sungai Sa’dan, tepatnya di tempat dimana Tugu Peringatan baginya didirikan di Singki’ Rantepao.
Meneliti sejarah perjuangan bangsa melawan Pemerintah Hindia Belanda dapatlah diketahui bahwa Pongtiku adalah penantang terakhir yang mengobarkan perang klasik terakhir tahun 1906-1907 di Wilayah Sulawesi Selatan sesuai sumpah yang diucapkannya “Iatu Tolino Pissanri Didadian sia Pissanri Mate Iamoto Randuk Domai Tampak Beluakku Sae Rokko Pala’ Lette’ku Nokana’ Lanaparenta Tumata Mabusa” (Manusia hanya sekali dilahirkan dan mati, dari ujung rambut sampai telapak kakiku saya tidak akan rela diperintah oleh Belanda)
Pengorbanan tidak sia-sia karena setahun setelah Pongtiku gugur tahun 1907. Pada tahun 1908 bangkitlah perlawanan modern yang dimulai dengan gerakan Budi Utomo atau Kebangkitan Nasional yang disusul dengan perlawanan-perlawanan dari pahlawan dan pejuang-pejuang bangsa yang mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Berdasarkan perjuangan Pongtiku, Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden RI Nomor : 073/TK/2002 tanggal 6 Nopember 2002, Pongtiku ditetapkan dan disahkan sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian riwayat singkat Pahlawan Nasional Pongtiku
Dikirim Oleh: Tamar Pambunan
(Sumber : Dinas Sosial Kab. Toraja Utara)
»»   Selengkapnya...

Kamis, 23 Juni 2011

Ma’nene Ritual Unik Suku Toraja-Baruppu'



Tana Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.
Selain Rambu Solo, sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan mengganti busana jenazah leluhur. Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara — sebuah kabupaten baru. Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus.
Ritual budaya toraja yang unik ini, rencananya akan digelar selama sebulan penuh, yakni dari tanggal 1 Agustus sampai dengan 31 Agustus 2011. pada acara ma'nene nanti ini, akan diisi dengan berbagai macam kegiatan budaya yang menjadi item kegiatan Ma'nene.
Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu dan diletakkan di arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.
Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian keluarga besar. Ritual Ma’ Nene’ oleh masyarakat Baruppu dianggap sebagai wujud kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.
Dari mana asal muasal ritual Ma’ Nene’ di Baruppu? Kisah turun-temurun menyebutkan, pada zaman dahulu terdapatlah seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek. Saat sedang berburu di kawasan hutan pegunungan Balla, bukannya menemukan binatang hutan, ia malah menemukan jasad seseorang yang telah lama meninggal dunia. Mayat itu tergeletak di bawah pepohonan, telantar, tinggal tulang-belulang.
Merasa kasihan, Pong Rumasek kemudian merawat mayat itu semampunya. Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang dipakainya, lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong Rumasek melanjutkan perburuannya.
Tak dinyana, semenjak kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu, ia selalu beroleh hasil yang besar. Binatang hutan seakan digiring ke dirinya. Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati tanaman padi di sawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya.
Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya berkat welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak bernama yang ditemukannya saat berburu.
Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’ Nene’. Dalam ritual Ma’ Nene’ juga ada aturan tak tertulis yang mengikat warga. Misalnya, jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma’ Nene’ untuknya.
Ketika Ma’ Nene’ digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran ke seantero negeri akan pulang kampung demi menghormati leluhurnya. Warga Baruppu percaya, jika Ma’ Nene’ tidak digelar maka leluhur juga akan luput menjaga mereka. Musibah akan melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan padi yang bernas dan tanaman yang subur.
»»   Selengkapnya...

Kamis, 16 Juni 2011

KPK dan CIDA Luncurkan Proyek SIPS di Makassar


KPK dan CIDA Luncurkan Proyek SIPS di Makassar
Kamis, 16 Juni 2011 06:15
Makassar, Komisi Pemberantasan Korupsi meluncurkan proyek "Support to Indonesia's Island of Integrity Program for Sulawesi" di Makassar, Selasa, sebagai upaya mencegah korupsi. Upaya pencegahan korupsi itu dilakukan melalui perbaikan tata kelola pemerintahan dan manajemen yang lebih transparan dan akuntabel, kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Informasi, dan Data Moch Jasin.

Ia menjelaskan, proyek yang dikerjasamakan dengan Canadian International Development Agency (CIDA) Indonesia ini akan dilaksanakan selama lima tahun di lima daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dan lima daerah di Provinsi Sulawei Utara yang terpilih dari 20 daerah yang mengajukan aplikasi untuk mengikuti proyek.

Di Sulsel program ini berjalan di Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Kabupaten Enrekang, Pemerintah Kabupaten Pinrang dan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja. Sementara itu, di Sulut, proyek dilaksanakan di Pemerintah Kota Manado, Pemerintah Kabupaten Minahasa, Pemerintah Kota Bitung dan Pemerintah Kabupaten Sangihe. Kesepuluh daerah ini terpilih menjadi pionir pelaksanaan proyek SIPS berdasarkan hasil penilaian KPK melalui survei integritas sektor publik, penilaian inisiatif antikorupsi (PIAK) dan analisis aksebilitas.

"Daerah-daerah ini menunjukkan niat-niat dan komitmen untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan dan manajemen yang baik misalnya dengan berupaya melakukan penyederhanaan sistem pelayanan publik. Kami pilih yang paling minim potensinya," ujarnya.

Sebanyak 10 daerah yang telah terpilih ini diharapkan dapat ditularkan ke provinsi dan daerah lain di Pulau Sulawesi. Tiga fokus proyek adalah pelayanan terpadu satu pintu, administrasi kependudukan dan layanan pengadaan secara elektronik (LPSE atau e-procurement).
Selama lima tahun proyek berjalan akan dilakukan evaluasi berkala untuk menilai efektivitas dan efisiensi pencapaiannya.

"KPK akan terus mendorong perbaikan karena solusi pencegahan melalui konsultasi lebih baik daripada menangkap dan memenjarakan orang. Melalui proyek ini kami berusaha melakukan pencegahan tapi bukan berarti ada toleransi pada daerah yang terpilih," katanya.

CIDA Indonesia Field Refresentative Renaldy Martin menambahkan, intinya proyek ini adalah "good governance". Isunya bukan korupsi tapi pencegahan korupsi karena masih banyak ruang yang dapat dimaksimalkan untuk melakukan pencegahan. Survei integritas akan menjadi indikator resmi layanan publik.

Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo menyatakan, Sulsel akan terus melakukan perbaikan melalui tiga agenda yaitu agenda intelektual agar kabupaten lain ikut termotivasi, agenda manajemen dengan mendorong sistem pelayanan publik "one stop service", dan penerapan e-government serta agenda perilaku pejabat publik. "Ini pertama dan kami akan banyak belajar," ujarnya. (T.KR-RY/N002-ant)
»»   Selengkapnya...