Minggu, 31 Maret 2013

Kantor Wali Kota Palopo Dibakar

TRIBUNNEWS.COM,
MAKASSAR
- Setelah membakar kantor DPD Partai Golkar, massa juga membakar kantor Wali Kota Palopo di Jalan Andi Jemma, Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel, Minggu (31/3), langsung mengerahkan dua kompi pasukan Brimob Polda.
"Beberapa waktu lalu kami mengerahkan 200 personel Brimob Polda Sulsel, dan hari ini kami kerahkan 200 lagi anggota Brimob Datasemen B dari kota Parepare serta sejumlah personel Polres terdekat," kata Kasat Brimob Polda Sulsel Kombes Pol Ramdani Hidayat, Minggu (31/3).
Secara terpisah, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar, Zulkifli Hasanuddin, menilai pembakaran kantor Wali Kota Palopo dan sejumlah fasilitas umum lainnya, membuktikan bahwa pihak kepolisian sangat lemah dalam mengatasi setiap permasalahan yang terjadi di Indonesia khususnya di Sulsel.
"Polisi selalu saja kecolongan dalam mengendalikan massa yang anarkis, seharusnya sejak awal kepolisian sudah mengetahui hal ini akan terjadi karena polisi itu memiliki satuan intel. Apa sebenarnya pekerjaan Intel Polda dan Polres Palopo, kenapa hal ini bisa terjadi. Saya melihat Intel kepolisian tidak ada memiliki peran," ungkapnya.
Aksi pembakaran kantor Wali Kota Palopo dan sejumlah fasilitas umum lainnya, terjadi setelah rekapitulasi perhitungan suara di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Palopo, Sulsel, sekitar pukul 10.15 wita, untuk pemilu putaran ke II Wali Kota Palopo.
Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Komisaris Besar Endi Sutendi, mengatakan awalnya situas proses rekapitulasi berjalan lancar dan personel yang dikerahkan jumlahnya ribuan yakni, personil pengamanan terpadu sebanyak 656 orang, Polres Palopo 250 orang, Brimob Polda Sulsel 200 orang, Dalmas Luwu 35 orang, Dalmas Tator 42 orang dan Dalmas Lutra 29 orang.
"Dalam pengamanan ini pihak TNI AD juga dilibatkan dan dikerahkan sebanyak 50 orang, Sat Pol PP 30 orang, pemadam kebakaran 15 orang dan kesehatan 3 orang," kata mantan Wakapolrestabes Makassar ini.
Mantan Wadir Intelkam Polda Sulsel ini mengatakan, kondisi tidak kondusif sekitar pukul 13.00 Wita. Saat itu massa pasangan nomor urut 5 yakni Haidar Basir-Thamrin, sekitar 500 lebih, melakukan pelemparan batu dan bom molotov di kantor KPUD Palopo. Namun, dapat dipukul mundur oleh pasukan Dalmas dan petugas pengamanan lainnya.
"Saat petugas pengamanan berkosentrasi melakukan pengamanan di kantor KPUD, tiba-tiba ada aksi pembakaran yang terjadi di kantor Wali ?Kota Palopo, kantor Golkar, Kantor Harian Palopo Pos, dan Kantor Camat Wara Timur Palopo." jelas mantan Kapolresta Makassar Barat ini.
Massa pasangan urut satu, yakni Yudhas Amir-Ahmad Syarifuddin Daud jumalahnya sekitar 500 orang. Namun, maasa pasangan urut satu itu, dapat diatasi sehingga tidak terjadi benturan. Saat ini, kata Endi, pihak Kapolres palopo masih melakukan identifikasi pelaku pembakaran kantor walikota serta beberapa fasilitas umum lainnya.
»»   Selengkapnya...

AJI Makassar Kecam Pembakaran Redaksi Palopo Pos & Fajar Biro Palopo



Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews

Makassar - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar mengecam keras aksi penyerangan dan pembakaran kantor harian Palopo Pos dan kantor Harian Fajar biro Palopo, terkait kisruh Pilwalkot Palopo, yang terjadi siang tadi, minggu siang, pasca penetapan pemenang Pilwalkot Palopo putaran kedua yang memenangkan Judas Amir dan Ahmad Syarifuddin (JA).

Hal ini disampaikan Ketua AJI Makassar, Mardiana Rusli dalam rilisnya pada detikcom. Menurut Mardiana, sebelum peristiwa terjadi pihak Palopo Pos mendapatkan teror via sms dan telepon yang menyebutkan kantor berita itu akan dibakar.

"Mereka melaporkan aksi teror tersebut ke aparat Kepolisian dan TNI. Namun, semua aparat terkonsentrasi di kantor Walikota. Pihak redaksi Palopo Pos membantah jika media mereka dianggap tidak netral dan memihak salah satu pasangan kandidat, isu tersebut sengaja dihembuskan provokator," tutur Mardiana yang koresponden ANTV di Makassar ini.

Atas peristiwa tersebut, AJI Makassar meminta polisi menangkap dan menyidik para pelaku sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Karena hal ini, lanjut Mardiana, merupakan tindakan kriminalisasi terhadap dunia pers dan melecehkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melindungi hak wartawan untuk menjalankan pekerjaannya.

“Menganiaya, mengancam,dan merampas alat kerja wartawan adalah tindak pidana, dan polisi harus menangkap serta menyidik para pelaku, sebaliknya Jurnalis harus memberitakan yang sebenarnya dan porsi yang imbang. Sehingga publik melihat media tidak berpihak, dalam keadaan genting dan gawat, jurnalis tidak boleh memanaskan keadaan sehingga dapat membuat situasi jadi destruktif," tandas Mardiana.

(mna/rvk)
»»   Selengkapnya...

Jumat, 29 Maret 2013

Komnas HAM Batal ke Markas Kopassus karena Tak Dapat Izin

Edzan Rahardjo - detikNews


Yogyakarta - Komnas HAM mengagendakan datang ke Markas Kopassus, Kandang Menjangan, Kartosuro, Sukoharjo. Pertemuan dengan Kopassus penting untuk merunut kasusnya dari awal. Namun agenda itu batal, karena tidak ada izin.

Ketua Komnas HAM, Siti Nurlaela mengatakan, karena tidak bisa ke Kopassus, pihaknya akan langsung ke Mabes TNI. Rencananya, Komnas meminta Mabes untuk mengundang pihak Kopassus dalam pertemuan.

"Alasan birokrasi, yakni mereka belum dapat izin dari Mabes. Hanya itu yang disampaikan ke kami," kata Siti Nurlaela usai menemui Kapolda Brigen Sabar Rahardjo di Mapolda DIY, Rabu(27/3/2013).

Dalam pertemuan yang dihadiri masyarakat NTT di Yogya itu, Komnas HAM menyerahkan sebuah proyektil yang tertinggal di TKP karena belum sempat diambil petugas.

"Proyektil itu ditemukan di ruang A 5 LP Cebongan," katanya.

Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa pasca penyerangan LP Cebongan, masyarakat NTT merasa tidak aman. Oleh karenanya, Komnas meminta Polda untuk menjamin kemanan warga.

(try/try)
»»   Selengkapnya...

Senin, 25 Maret 2013

Wakapolri: Pelaku Penyerangan? Tunggu Penyidikan Polisi!

Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Nanan Sukarna meminta semua pihak tidak menuding siapapun sebagai pelaku penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Penyelidikan polisi masih berjalan.
"Jadi jangan suudzon dulu. Siapa pelakunya kita lihat dari hasil di TKP, hasil penyelidikan seperti apa dan siapa pelakunya," kata Nanan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (25/3/2013). Menurutnya, opini tidak dapat digunakan dalam proses penegakan hukum.
Hasil penyelidikan, tegas Nanan, harus didapatkan dari olah tempat kejadian perkara (TKP) dan keterangan para saksi. "Jangan beropini, tapi dasar hukumnya yang harus ditegakkan. Prosedur justice system-nya harus jelas sesuai prosedur olah TKP," terangnya.
Saat ini polisi masih meminta keterangan para saksi dan melakukan uji balistik pada proyektil yang ada di TKP. Nanan menegaskan, kepolisian akan menindak tegas siapapun pelakunya, termasuk bila berasal dari militer. "Setiap pelaku kejahatan, siapapun, harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Nanan.
Seperti diberitakan, sekelompok orang bersenjata api laras panjang, pistol, dan granat datang menyerang Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/3/2013) dini hari. Awalnya, mereka mengaku dari Polda DIY, sambil menunjukkan surat berkop polda.
Semula, mereka mengaku ingin membawa empat tersangka kasus pembunuhan Sersan Satu Santosa, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Hugo's Cafe, 19 Maret 2013 lalu. Namun, ketika petugas lapas menolak permintaan itu, mereka mengancam meledakkan lapas.
Akhirnya, petugas membukakan pintu, dan belasan orang berpenutup wajah masuk. Mereka menyeret petugas lapas untuk menunjukkan empat tahanan yang dicari.
Empat tahanan tersebut akhirnya ditembak mati. Mereka, yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.
Sebelum kabur, kelompok penyerang ini juga membawa rekaman CCTV. Aksi tersebut hanya berlangsung 15 menit.
Polisi masih menyidiki aksi penyerangan dan pembunuhan ini. Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso sudah membantah penembakan dilakukan anggota Kopassus. Kepala Seksi Intelijen Kopassus Grup-2 Kapten (Inf) Wahyu Yuniartoto juga menyatakan bantahan yang sama.
»»   Selengkapnya...

Rabu, 20 Maret 2013

Tradisi Menghormati Manusia dengan Kain Sarung

Sarung dan orang Bugis, sebuah keniscayaan yang hakiki. Pada banyak tempat, orang yang senantiasa memakai atau memakai sarung pasti selalu diidentikkan dengan orang Sulawesi. Kata Sulawesi mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Tolotang, Kajang serta beberapa sub etnis lainnya di Sulawesi Selatan, berikut suku dan etnis di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Gorongtalo.
Memakai sarung memang identik dengan mereka, hampir semua aspek kehidupan dan aktifitas keseharian mereka lekat dengan sarung. Sarung dapat mereka pakai untuk acara resmi, semi resmi dan tidak resmi. Sarung dapat mereka pakai di dalam rumah, di luar rumah hingga di tempat umum. Sarung dapat juga mereka pakai untuk tidur, makan, bekerja di ladang, menggarap sawah, beribadah hingga untuk bersenggama.
Kaum wanita di Sulawesi Selatan terutama yang masih kental dengan tradisi kedaerahannya,  pada umumnya merasa lebih aman jika mandi dengan berbalut kain sarung ditubuhnya, dibanding hanya menutupi bagian vitalnya dengan pakaian dalam apalagi tanpa penutup sama sekali. Tidak hanya jika ia mandi di tempat terbuka, melainkan juga jika ia dalam kamar mandi sekalipun, meski kamar mandi itu berada dalam kamar pribadinya.
Tradisi budaya masyarakat Sulsel melekat kuat dengan fungsi hakikat sarung terutama di masyarakat Bugis. Budaya ini  bahkan diberlakukan untuk tamu yang terlibat cukup dekat dengan aktifitas lingkungan setempat misalnya harus menginap di salah satu rumah warga maka pada umumnya akan disodori 3 lembar sarung.  Tiga lembar sarung memiliki perbedaan baik dari segi bahan, ukuran dan peruntukan. Tiga sarung tersebut masing-masing sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung ketiga ditambahkan untuk melengkapi 2 jenis sarung sebelumnya seiring dengan diterapkan hukum syariat Islam sebagai bagian dari Pangadereng masyarakat Bugis (Makassar: Pagadakkang) – Pemahaman adat, melengkapi empat komponen hukum adat sebelumnya yakni; adeq, bicara, wari dan rapang.
Sarung tidur (Lipa Tinro), merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan (dominan) benang katun, sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk tubuh pemakainya. Motifnya sederhana hanya berupa permainan warna, corak atau berupa motif tumbuhan yang dibuat dengan tehnik cap, batik atau sablon. Sarung ini biasanya bukan hasil tenunan melainkan sarung tekstil (buatan pabrik).
Sarung mandi (Lipa Cemme), memiliki bahan, corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung lainnya. Warna kusam yang tampak adalah efek dari seringnya sarung ini dibasahi atau dicuci setiap kali sarung ini dipakai mandi oleh pemakainya. Adakalanya, sarung mandi tidak disodorkan bersamaan dengan dua sarung lainnya, biasanya tuan rumah sudah menempatkan sarung mandi ini didalam kamar mandi, terutama jika kamar mandi tersebut berada dalam ruang tidur tadi (kamar mandi dalam).
Sarung shalat (Lipa Sempajang) adalah satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang biasanya berbeda dengan dua sarung sebelumnya. Kebanyakan sarung ini terbuat dari benang katun dengan tambahan benang plastik sintetis berwarna (Bugis : Gengang) sebagai komponen utama yang memunculkan corak dan motif pada sarung tersebut. Bagi tuan rumah yang mampu, biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bagi yang lain cukup dengan sarung pabrikan, tetapi yang masih baru atau relatif baru.
Diluar tiga sarung tersebut, boleh jadi dalam ruang tidur tamu terdapat tambahan satu sarung lagi. Sarung tersebut adalah sarung senggama. Hanya Anda yang memenuhi syarat berikut yang bisa memakai sarung tersebut. Syarat tersebut adalah; Anda sudah menikah, Anda mampu menahan malu untuk melakukan ritual suami istri tersebut di rumah orang lain dan terakhir Anda harus membawa sendiri sarung tersebut.
Tiga lembar sarung yang disodorkan pada setiap tamu bagi orang Bugis menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk penghormatan dan memanusiakan tamu. ( Sumber : Suryadin Laoddang)
»»   Selengkapnya...

Pamali Dalam Masyarakat Bugis-Makassar

ekspresi budaya “pamali/ pemmali” sebagai salah satu sikap tutur budaya Bugis-Makassar, merupakan ungkapan yang bersifat  spontan, sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan  pada kejiwaan , untuk tidak melanggar yang di pemalikan (diappemmaliang).
    
Pemmali terkait erat dengan pappaseng , oleh pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun pappaseng(pesan) sebab merupakan nasehat hidup atau pelajaran hikmah yanglahir dari penjelajahan hidup yang  disampaikan lewat karya sastra dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya  suku Bugis-Makassartetapi pemmali, juga sebagai sebuah pesan yang memberi efek berbeda dengan volume  pelarangan yang sangat menekan,  sebab diikuti dengan sanksi meskipun bentuknya terkadang gaib.
Pada masyarakat lampau sifat pemmali ini secara umum  teraplikasi dengan baik sebab menjadi timbangan yang istimewa dalam mempengaruhi emosional lawan bicara (reseptor /audens) sehingga menjadi kemestian untuk tidak melakukan yang bersifat larangan(harus diindahkan)  meski dengan tidak rela / terpaksa mengikuti.
“Pemmali  = kata terapan dari bahasa Arab  dari kata  “Fiil Madi”  (kata lampau), sebab dalam perkembangan hubungan sosial dan adab kita, sesuatu yang diappemmaliang jika dilanggar lebih sering terjadi efek buruk.
Beberapa hal yang menyangkut dengan hal pamali dalam masyarakat bugis makassar ini antara lain “Pemmali pura Manre nappa matinro, menre I’ salompongnge” (dilarang langsung tidur setelah makan, sebab ulu hatimu dapat membesar), “Diappemmaliangngi  gattung lipa ri ellongnge’, mate maddarai tewwe (dilarang menggantung sarung pada leher karena biasanya orang akan mati berdarah) – memadukan baju dengan sarung sebagai kostum hari-hari bagi lelaki Bugis-Makassar adalah tradisi, yang menjadi pelarangan ketika sarung itu digantung ke leher, sinyalemen keburukan ini di logikakan oleh Andi Radja Karaen Nai’, sebagai bentuk kelemahan ketika dengan mudah musuh menarik sarung sehingga obyek penderita tersebut terjerat lehernya. (sang Baco )
»»   Selengkapnya...

Makna "DAENG" Dalam Tradisi Bugis-Makassar

Julukan kata “daeng” untuk orang Bugis makassar merupakan sebuah bentuk pelestarian adat  budayanya. Orang luar sering memberikan julukan tersebut kepada setiap orang perantauan dari suku Bugis Makassar. Dalam tradisi budaya Bugis makassar, gelaran “Daeng”  pada dasarnya hampir sama dari unsur pengidentifikasiannya namun sedikit berbeda dalam penerapannya.
Makna kata “Daeng” dalam bahasa Bugis berarti kakak. Kata “Daeng” pada umumnya disematkan untuk orang yang lebih tua misalnya seorang adik yang memanggil saudara yang lebih tua, itu pun digunakan dalam lingkup sebuah keluarga yang sudah saling mengenal. Sedangkan dalam kebudayaan suku Makassar, kata “daeng” selain sebagai sapaan kepada orang yang lebih tua juga berfungsi sebagai nama tambahan (nickname) selain nama kandung yang sudah dibawa sejak aqiqah.
Dikutip dari artikel rappang.com, suku Bugis mengenal 3 strata sosial yaitu Arung (bangsawan kasta tertinggi), To Maradeka (masyarakat umum) dan Ata (budak). Dalam penempatan kata “Daeng” sebagai identifikasi strata maka golongan To Maradeka yang familiar menggunakan julukan tersebut. Sedangkan di makassar, dikenal terdiri dari 4 stratafikasi yaitu Kare (tokoh Religi), Karaeng (Raja atau bangsawan), Daeng ( kalangan pengusaha) dan Ata (budak).
Gelar “Daeng” pada hakikatnya memiliki beragam makna jika dilihat dari penyatuan tradisi yaitu
  • Daeng merupakan simbol penghambaan dari nama Tuhan, kurang lebih seperti yang ada dalam Islam
  • Daeng berasal dari kata Makassar yaitu “Pa’doangeng” yang berarti  untuk “do’a” dan harapan
  • Penegasan sebagai seorang dari golongan Bangsawan
  • Gelar untuk seorang yang dijadikan panutan karena keberanian, kejujuran dan kepintarannya.
  • Diberikan untuk seorang yang berjasa dan biasanya gelar yang diberi sesuai dengan keadaan orang itu, misalnya seorang Amerika yang diberi gelar Daeng Rate, Rate berarti tinggi karena kebetulan memang orangnya memiliki fisik yang tinggi.

TNO-Sulsel, Dalam tradisi Bugis Makassar, nama paddaengang (pemberian gelar daeng) atau karaeng diberikan oleh orang tua kepada anaknya dengan merujuk nama-nama paddaengang milik orang-orang tua mereka atau kerabat dekat dalam keluarga mereka. Nama paddaengang tidak pernah dibuat baru karena merujuk dari silsilah keluarga.
Pada saat ini, gelar “Daeng” mengalami distorsi dalam interaksi sosial peradaban yang berkembang. Alasan utamanya karena nama paddaengang berkesan ketinggalan jaman dan tidak modern. Generasi yang lebih muda mengalami pergeseran pemahaman dan kesalahan persepsi dikarenakan penggunaannya yang lebih bersifat umum. Para pengayuh becak, pedagang sayur dan ikan keliling serta beberapa pelaku industri non formil lainnya biasa disapa dengan panggilan daeng sehingga kemudian banyak orang yang menganggap kalau daeng itu asosiasinya lebih kepada mereka yang berada di strata sosial rendah. Mengacu kepada tradisi maka tentu saja pandangan itu sama sekali tidak benar. (scribd)
(foto : Makassar Galery Foto)
»»   Selengkapnya...

Selasa, 19 Maret 2013

Batu Hampar, Bukti Sejarah Raja-Raja Bugis Di Malaysia

Batu Hampar yang ada di Kuala Selangor, Malaysia adalah salah satu situs peninggalan para keturunan raja Luwu Bugis yang pernah memangku pemerintahan kerajaan. Menurut kisah sejarahnya, batu Hampar ini merupakan tempat orang-orang Bugis Luwu memenggal Kepala Musuh, tersangka kasus kejahatan ataupun penjahat. Situs ini Terletak di bukit pintu masuk kota Melawati, Selangor. Permukaan batunya berukuran 5 x 5 x 2 kaki. Batu tempat eksekusi ini sudah ada pada jaman Raja Lumu Sultan Salehuddin Syah Ibni Almarhum Daeng ChelaK 1705–1778 — di Pulau Sudong.
Kerajaan Selangor merupakan kerajaan terakhir yang muncul pada abad 18 dan diasaskan oleh Bugis di mana Raja Lumu yang menjadi Sultan Selangor yang pertama dengan gelaran Sultan Salehuddin Syah. Dalam silsilahnya disebutkan bahwa Raja Lumu ini adalah anak dari Daeng Celak (Opu Daeng Cella). Sampai saat ini, pemangku kerajaan Selangor masih merupakan keturunan dari kerajaan Luwu.
batu hampar 2Batu Hampar ini dahulunya berada dalam kawasan istana kota pertahanan kedua dimana terdapat tiga undakan tangga menuju halamannya seluas 30 x 30 kaki. Keunikan batu hampar itu adalah terletak diatas pasir namun posisinya tetap berdiri tegak tidak miring sedikit pun. Letaknya diatas bukit Melawati berjarak sekitar 100 meter dari kawasan Istana. Diketahui pula bahwa bukit ini merupakan tempat menyimpan harta kerajaan.
Kisah-kisah yang ada menceritakan bahwa batu Hampar ini digunakan sebagai tempat menghukum pezinah dengan memenggal lehernya. Darahnya ditampung kemudian disebarkan disekeliling areal batu Hampar itu. Namun seorang keturunan panglima perang kerajaan Selangor yakni Encik Nokik Bin Lakik yang senantiasa mencermati kisah sejarah di bukit Melawati itu menceritakan lain. Ia menegaskan bahwa batu Hampar itu dulunya merupakan tempat bersemayam Sultan Selangor terutama menyambut para tetamu yang akan membayar upeti kepada kerajaannya. Selain itu, batu Hampar itu juga difungsikan sebagai meja untuk bermain catur sang Sultan. Banyak pihak yang mengerti sejarah masa silam kerajaan Selangor membenarkan hal itu. (sumber: bluesriders / foto: Raja Luwu Bugis Sawerigading)
»»   Selengkapnya...

Minggu, 17 Maret 2013

Hidup Digitalisasi Koran!

Hidup Digitalisasi Koran!
 Apakah menguntungkan secara bisnis? Memang, secara bisnis, koran digital untungnya lebih sedikit dibandingkan koran kertas. Situs berita detik.com, menurut informasi, hanya menghasilkan laba ratusan juta rupiah tiap bulan, jauh lebih kecil dibandingkan koran Kompas yang labanya milliaran rupiah tiap bulan. Tapi, bisakah kita mengukur laba tidak hanya dari jumlah rupiah semata? Bisakah kita mengukur laba dengan melihat masa depan Indonesia yang cerah dengan hutan-hutannya yang lebat?
Saya pribadi memridiksi, trend bisnis akan berpihak ke koran digital dibandingkan koran kertas, sebagaimana trend bisnis Amerika yang membuat koran Seattle Post menutup koran kertasnya dan lebih memilih terbit dalam bentuk digital. Hidup digitalisasi koran!
»»   Selengkapnya...

Tradisi PAJOGE, Tergerus Modernisasi?

TNO-Selayar, Seperti ritual mendorong sebuah kapal atau perahu baru ke laut di tanah Beru, Bulukumba, lain pula di Pulau Bonerate, Kecamatan Pasimarannu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi-Selatan yang juga memiliki ritual serupa yaitu tradisi Songkobala dan Pajoge. Tradisi ini adalah sebuah bentuk kebudayaan yang digelar pada setiap rangkaian prosesi mendorong kapal baru dari industri galangan perahu di pesisir pantai Desa Bonerate menuju ke laut dan merupakan adat kebiasaan bersifat turun-temurun yang wajib dilaksanakan pada setiap  prosesi mendorong kapal.
Ritual Songkabala merupakan rangkaian kemeriahan tradisi pajoge menjadi sarat mutlak yang harus dilaksanakan, sebelum kapal dilepas secara resmi untuk di bawah berlayar oleh sang pemesannya.
Pemesan kapal yang dibuat di Pulau Bonerate ini pada umumnya berasal dari luar wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar, ada juga yang datang dari warga Provinsi Nusa Tenggara Timur dan masyarakat Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Ritual songkabala yang digelar di dalam rangkaian upacara sakral ini diyakini warga setempat dapat menjadi penangkal bala dan segala bentuk musibah lain yang dimungkinkan akan menerpa kapal, saat sedang mengarungi samudera nusantara. Dengan penyelenggaraan ritual tersebut, kapal-kapal buatan Pulau Bonerate yang telah diturunkan ke laut, diyakini akan senatiasa terhindar dari bala atau musibah pelayaran.
Bahkan, kapal buatan masyarakat pulau di penghujung paling selatan Kabupaten Kepulauan Selayar ini, diyakini tidak akan karam dan tenggelam di perairan lain kecuali, bila kapal tersebut kembali ke daerah asal pembuatannya yakni Pulau Bonerate.
Saat pertama kali ditumbuh kembangkan, tradisi Pajoge digelar tanpa iringan alat musik sama sekali. Kultur budaya pajoge di Pulau Bonerate mengalir alami, ibaratnya sebuah aliran anak sungai. Tradisi ini dilakukan pada saat bersamaan dengan ritual Songkobala. Dalam prosesnya, masyarakat memeriahkan tradisi pajoge dengan posisi berdiri melingkar mengelilingi tubuh kapal yang siap turun kelaut. Untuk dapat menghasilkan irama, warga memukul-mukulkan tangannya ke arah badan kapal diselingi riuh tepuk tangan dan hentakan kaki ke tanah. Kemeriahan tradisi budaya ini makin sempurna semaraknya ketika warga masyarakat bersorak-sorai riuh menyambut detik-detik pelepasan perahu ke laut.
Seiring dengan perkembangan jaman, tradisi budaya Pajoge mulai mengalami pergeseran baik dari sisi kemeriahan maupun dari unsur nilai-nilai kebudayaan naturalnya. Hadirnya beragam perangkat elektronik seperti radio tape dan musik elektone menggerus nilai-nilai sakralnya. Sejak saat itu pula, pola tradisi Pajoge kian dikembangkan dan lebih banyak digelar pada rangkaian pesta hajatan perkawinan atau pun khitanan. (reporta: Fadly Syarif / editor: Indra J Mae)
»»   Selengkapnya...

Alat pengolah Makanan Dalam Pelayaran Tradisional Pelaut Sulsel

TNO-Sulsel, Gelar pelaut ulung yang melekat di leluhur masyarakat Bugis Makassar sampai saat ini masih terbukti melihat dari rekam jejak sejarah para pelaut masa lampau di Pulau Bonerate, sebuah gugusan pulau kecil paling terluar di semenanjung Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi-Selatan. Masyarakat pelaut yang berada di pulau ini terkenal dengan kepiawaian dan kemahirannya mendesain rancang bangun beraneka ragam perahu berukuran variatif berdasarkan selera asal pemesannya. Salah satu perahu ternama asal Pulau Bonerate yang pernah dikenal mengarungi bahtera nusantara negeri ini adalah,  “Perahu Lambo”. Perahu tradisional yang penamaannya pun, kini nyaris tak lagi pernah disebut-sebut. Beberapa literatur menyebutkan, Pada masa lampau, nelayan Pulau Bonerate tercatat sebagai kelompok pelaut yang tergolong tangguh di dalam membelah samudera laut luas dengan hanya mengandalkan perahu kayu dengan fasilitas layar seadanya ini.
Penggilingan jagung Pulau BonerateKota Surabaya menjadi salah satu daerah yang paling banyak dijejali oleh para pelaut asal pulau terluar di Kabupaten Kepulauan Selayar ini terutama, disaat mereka akan berbelanja barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari. Harga kebutuhan pokok di Kota Surabaya, jauh lebih terjangkau ketimbang harga kebutuhan pokok di Ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar sendiri. Tak heran, bila warga masyarakat Pulau Bonerate lebih memilih untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari mereka di ibukota Jawa Timur itu. Untuk sampai kesana, mereka harus menghabiskan waktu selama kurang lebih dua puluh satu hari menempuh samudera. Dalam pelayaran panjang itu, mereka memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dengan membawa perbekalan makanan berupa jagung bersama alat pengolah makanan tradisional yaitu Penggiling jagung.
Gilingan jagung itu dipasang secara permanen di atas kapal untuk memudahkan proses pembuatan nasi jagung dan menghemat biaya selama dalam perjalanan laut sampai mereka tiba dengan selamat di kota tujuan. Setidaknya terdapat ratusan unit kapal dan perahu tradisional Pulau Bonerate yang dilengkapi dengan alat giling jagung berbahan baku batu dan seng. Uniknya, penggilingan itu diikatkan pada salah satu tiang kapal untuk menghindari alat terlempar saat badai gelombang memukul lambung kapal atau perahu yang hanya mengandalkan layar tanpa bantuan mesin sama sekali. Sampai saat ini, penggunaan alat giling jagung tradisional masih digunakan sebagian warga masyarakat setempat ketika melakukan pelayaran panjang. (reporta: Fadly Syarif / editor: Indra J mae)

»»   Selengkapnya...

Sejarah perang Saudara, Bugis dan Toraja

TNO-Sulsel, Putusnya hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 akibat adanya persaingan yang keras maka pedagang Bugis pun leluasa memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’. Para bangsawan Toraja yang banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa menjadi daya tarik yang menggiurkan.
Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.  Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis, mereka pun menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya.
Berkuasanya invasi BUgis ini mengakibatkan terjadi transformasi budaya yaitu beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei), maka judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.  Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.
Meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’ Allo yang terus mengadakan arena perjudian, mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.  Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Setelah Pakila’ Allo meninggal dengan cara meracuni, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.  Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :  1)    Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu  2)    Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira  3)    Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.  Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.
Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun  tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “  “Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”  Artinya :  “Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone”  Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo.
Sejak hubungan kedua daerah pulih kembali pada awal abad ke-18, pedagang Bugis pun kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata – senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangsung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka  mulailah terjadi perang saudara dan penjualan budak yang ditukar dengan senjata api.  Perang terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Andi Guru”. (sumber: http://www.blogger.com)
»»   Selengkapnya...

Sabtu, 16 Maret 2013

Kerajaan Besar Sulawesi Selatan Sebelum Gowa-Tallo

Sebuah sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan yang pernah mencapai puncak kejayaannya sebelum besarnya kerajaan Gowa – Tallo adalah kerajaan Siang.  Siang diperkirakan mengalami “masa keemasan” sekitar abad XV – XVI — sedangkan masyarakat Bugis Makassar nanti mengenal tradisi tulis “lontarak” di abad XVII.  Kerajaan Siang hanya sedikit dikenal dan hanya sedikit yang baru bisa diungkap lewat penelitian arkeologi di bekas pusat wilayah pemerintahan dan pelabuhan Siang Situs Sengkae, Bori Appaka, Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep ( 70 km dari Kota Makassar)
Dari minimnya hasil penelitian, diperkirakan bahwa kerajaan Siang ini telah dikunjungi oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548 jauh sebelum kerajaan Gowa memproklamirkan kekuatan maritimnya.  Seorang peneliti sejarah dari Portugis yakni Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber manuskrip Eropa dalam peta Portugis bertarikh 1540. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a’ un souverain).
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan nusantara, bahkan dari Eropa. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545, kerajaan Siang memiliki jumlah penduduk sekitar 40.000 jiwa.
Menurut catatan Portugis dari dokumen abad 16, Gowa dan Tallo pernah jadi pengikut dari kerajaan Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan arkeolog berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi merupakan kekuatan besar di pantai barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M. Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang , bernama Nasauleng atau Nagauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang. Garis keturunan Tomanurunga Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Siang (asossorangi ma’gauka) sampai tiba masanya Karaengta Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa. (Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2005).
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Eropa dan sumber lokal, menyatakan Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad XIV – XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Kerajaan Limae Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan Makassar, yakni Gowa-Tallo.
Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis yaitu Pelabuhan Sombaopu . Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Raja Gowa IX,Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI. (Pelras 1977 : 252-5).
Pusat kerajaan Siang tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut yang luas dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama (Makkulau, 2005, 2007).
Sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenrengdi daratan tengah Sulawesi Selatan membuat kerajaan Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, pengaruh pusat politiknya meredup.  Nasib kerajaan Siang kemudian tidak berbeda dengan kerajaan Bantaeng, kendati eksis tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo. (Fadhillah et, al, 2000 dalam Makkulau, 2005).
Hasil penelitian Balai Arkeologi Makassar dan Universitas Hasanuddin (UNHAS) menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang dulunya terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh benteng kota (batanna kotayya). Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang yang telah mati. (Fadhillah, et.al, 2000 : 27).
Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang diperkirakan terjadi pada akhir abad 16 saat masuknya ekspansi politik kerajaan Gowa dan mempengaruhi otorisasi sistem pemerintahannya. 
(berbagai sumber )
»»   Selengkapnya...

Jumat, 15 Maret 2013

Adat Ritual Pemakaman Kedatuan Luwu

TNO-Luwu, Ritual adat yang sangat kental mewarnai sebuah prosesi pemakaman dalam rangkaian 40 hari wafatnya Andi Luwu Opu Daengna Patiware Datu Luwu ke-39 di Luwu Sulawesi Selatan. Batu nisan almarhum diarak sepanjang jalan menuju ke makam Datu atau makam raja-raja Luwu yang disebut LokkoE. Pengarakan batu nisan sang raja adalah salah satu prosesi adat utama dalam rangkaian kegiatan pemakaman yang disebut Mattampung (pemasangan batu nisan). Pada prosesi adat penutup ini, pihak Istana akan mengundang seluruh raja-raja se-Sulsel yang memiliki ikatan emosional dan kekeluargaan yang dekat dengan kerajaan Luwu. Mereka diharapkan mengikuti prosesi mattampung. acara inti dari prosesi adat mattampung dengan mappanonno batu atau menurunkan batu nisan untuk selanjutnya dipasang di pusara almarhumah yang terletak di dalam Lokkoe. Lokkoe adalah gua buatan berbentuk piramida sebagai moseleum dari keluarga raja dari Kedatuan Luwu.
Acara mappanonno batu diawali dengan mengumandangkan adzan di empat sudut istana Kedatuan Luwu secara bersamaan. Setelah itu, batu nisan diusung menuruni tangga ‘sapana’ yang terbuat dari serpihan batang pinang yang saling dianyam. Batang pinang lazim digunakan di dalama cara-acara ritual di kalangan masyarakat adat. Sebelum usungan batu nisan diusung menuruni tangga sapana, maka seekor kerbau disembelih lalu usungan batu nisan diusung melangkahi jasad kerbau tersebut dan disaksikan oleh Datu Luwu ke-40 dan para bupati se-Tana Luwu. Prosesi itu disebut ‘ripajulekkai camara lebbi’ atau melangkahi kerbau persembahan. Kerbau adalah hewan berkaki empat yang melambangkan empat penjuru mata angin yaitu, utara, selatan, timur dan barat, yang secara simbolis melambangkan bahwa kepergian almarhumah Datu Luwu ke-39 Andi We Addi Luwu diiringi oleh doa dan ratapan sedih dari seluruh masyarakat adat Luwu baik di barat, timur, selatan, dan utara. para pengusung batu nisan terdiri dari 4 orang yang memakai kostum adat berwarna putih dengan ikat kepala hitam. Batu nisan ditempatkan dalam sebuah keranda yang dihiasi dengan pernik khusus. Ketika para pengusung akan berjalan, mereka terlebih dahulu harus melangkahi kerbau yang telah dipotong yang disebut. Ritual inilah yang disebut “Ripajulekkei camara lebbi”.
Di bagian depan ‘parrulu gau’ atau atribut adat pengiring usungan batu nisan terdapat satu pasang suluh atau obor yang menyala yang disebut sulo langit atau suluh alam arwah kemudian diikuti dengan sepasang pabbalu-balu atau sepasang laki-laki yang menutup seluruh tubuhnya dengan sarung berwarna hitam yang melambangkan rasa duka yang mendalam dari seluruh lapisan masyarakat adat dalam Kedatuan Luwu. Sepasang ‘pattoduang’ yang masing-masing mengunakan topi caping dan pakaian petani yang juga berupa simbol bahwa seluruh strata sosial dalam wilayah adat Kedatuan Luwu berduka sedalam-dalamnya.
dokdok LuwuSeorang “dokdok” atau simbol kepala makhluk gaib yaitu seorang yang menggunakan topeng yang seram dimana seluruh tubuhnya ditutupi oleh jubah dari bulu-bulu yang kasar, berjalan bebas hilir mudik dari depan ke belakang. Jika ada seorang diluar iring-iringan prosesi adat tersebut yang sampai tertanggap tangan oleh dokdok, maka orang tersebut harus membayar denda sebelum dilepaskan. Dokdok ini bertugas menghalau semua anasir jahat, baik dari makhluk nyata maupun makhluk gaib yang akan menghalangi prosesi adat tersebut.
Sepasang tombak yang dihiasi dengan rambut manusia yang disebut ‘bessi bandranga’ yang menjadi sumber tanda bahwa iring-iringan tersebut adalah iring-iringan resmi dari Kedatuan Luwu, menyusul pembawa tombak yang disebut bessi menrawe yang disusul dengan pakkaliawo yaitu pembawa perisai dan tombak. Bessi menrawe dan pakkaliawo yang masing-masing berjumlah 12 orang adalah simbol peringkat tertinggi dari upacara adat di Kedatuan Luwu. Sesudah itu terdapat 12 perempuan berpakaian serba putih yang memegang atribut yang disebut passimpa dan masing-masing sejenis kipas yang dikipaskan perlahan-lahan sepanjang jalan. Aktifitas ini menyimbolkan bentuk upaya mengusir segala aral yang melintang. Rombongan passimpa itu terdiri dari ‘inanyompareng’ atau ibu susu dari almarhumah. (sumber: palopopos / foto: Ancha Maupe- Sempugi Grup)

posting : kabarkami.com
»»   Selengkapnya...

Mengenal Legenda Bugis, Nene' Mallomo

Nene’ Mallomo merupakan salah satu tokoh cendekiawan terkemuka di Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan dan telah menjadi simbol yang melegenda di daerah Bugis tersebut. Nene’ mallomo hidup di masa Kerajaan Sidenreng sekitar abad ke-16 M, pada masa pemerintahan La Patiroi, Addatuang Sidenreng. Beberapa referensi sejarah juga menyebutkan bahwa Nene’ Mallomo lahir sebelum masa pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada masa Raja La Pateddungi. Nene’ Mallomo wafat pada tahun 1654 M di Allakuang, Sidrap dengan mewariskan salah satu slogannya yang terkenal dan menjadi pedoman hidup orang Bugis yakni “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”.
Pada zaman dahulu, setiap kerajaan memiliki cendekiawan yang merupakan pembimbing masyarakat dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Ada 5 orang cendekiawan yang terkenal dalam perjalanan sejarah kerajaan Bugis, yaitu Kajao Laliddo (cendekiawan kerajaan Bone), Nene’ Mallomo (cendekiawan kerajaan Sidenreng), Arung Bila (cendekiawan kerajaan Soppeng), La Meggu’ (cendekiawan kerajaan Luwu) dan Puang ri Maggalatung (cendekiawan kerajaan Wajo).
Para cendekiawan tersebut sering melaksanakan pertemuan untuk mengadakan diskusi, sambil tukar menukar pengalaman yang nantinya menjadi pedoman wawasan setiap orang Bugis. Salah satu kegiatan pertemuan mereka yang terkenal digelar di Cenrana dimana pertemuan tersebut dihadiri oleh Kajao Laliddo dari Bone, Nene’ Mallomo dari Sidenreng, Puang ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang dari Soppeng, Macca e dari Luwu dan Boto Lempangan dari Gowa. Dari pertemuan tersebut, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat hukum. Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naiya Ade’ Temmakkeana’ Temmakkeappo” (hukum tidak mengenal anak cucu).
“Pangadereng dapat diartikan sebagai keseluruhan norma-norma, meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis) masyarakat. Pangadereng dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan. Pangadereng meliputi hal ihwal ade’ (adat), bicara, rapang (contoh), wari (tata cara) dan sara’. Semua diperteguh dalam satu rangkuman yang melatarbelakanginya, yaitu satu ikatan yang mendalam ialah siri”. (Mattulada, 1968)
Nene’ Mallomo hanyalah sebuah gelar bagi seseorang, dimana dalam bahasa Bugis Sidrap, kata Mallomo berarti mudah, yang maksudnya bahwa Nene’ Mallomo mudah memecahkan suatu permasalahan yang timbul. Nene’ Mallomomerupakan seorang laki-laki, walaupun kata Nene’ menunjuk pada istilah wanita yang telah lanjut usia (tua). Dalam budaya Bugis dahulu, kata Nene’ digunakan untuk pria/wanita yang telah lanjut usia. Nama asli Nene’ Mallomo adalah La Pagala, namun ada juga yang mengatakan bahwa nama asli Nene’ Mallomoadalah La Makkarau.
Nene’ Mallomo dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai kapasitas dalam hukum dan pemerintahan serta berwatak jujur dan adil kepada seluruh masyarakatnya. Dalam konteks masalah hukum, Nene’ Mallomo mempunyai prinsip yaitu “Ade Temmakkeana Temmakkeappo”, yang berarti bahwa hukum tidak mengenal anak dan cucu. Hal ini menunjukkan sisi keadilan dan ketegasan dari seorang Nene’ Mallomo, yang juga merupakan salah seorang penyebar agama Islam di daerah Sidrap.
Salah satu petuah dari Nene’ Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengeng (adil) serta Deceng Kapang (menghormati orang lain).
Nene’ Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal yaitu Massappa (mencari rezeki yang halal), Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal), Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan), Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji) dan Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).
Salah satu pappaseng (pesan) Nene’ Mallomo bagi aparat kerajaan adalah “Tellu tau kupaseng : Arung Mangkau’e, pabbicara e, suro e. Aja’ pura mucapa’i lempu e o arung mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apa’ riasengnge malempu, madeceng bicara e lamperi sunge’. Apa’ teammate lempu e, temmaruttung lappa e, teppettu malompennge, teppolo masselomo e”,  (Aku berpesan kepada tiga golongan: Maharaja, Juru Bicara dan Utusan. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, hai maharaja. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab yang disebut kejujuran, tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur).
Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’ Mallomo sampai saat ini telah menjadi ikon dari Kabupaten Sidenreng Rappang, yaitu Bumi Nene’ Mallomo.  (sumber : I Lagaligo Passompe’E / pelajarpro.com)
»»   Selengkapnya...

Riwayat Rumah Adat, Bola Soba

TNO-Sul-Sel, Rumah adat Bangsawan Bugis di Watampone, Sulawesi Selatan yang disebut Bola Soba’. Arsitekturnya hampir mirip dengan rumah Adat Gowa yakni Balla Lompoa. Bola soba atau dalam bahasa Indonesia yang diartikan “rumah persahabatan” merupakan salah satu peninggalan sejarah masa lampau.
Bangunan tradisional Bugis bermaterial kayu ini berdiri di atas lahan seluas hampir 1/2 hektar di ruas Jalan Latenritatta, Watampone. Kokohnya bangunan ini menandakan bahwa masyarakat Bone pada masa lampau telah menguasai pengetahuan teknik arsitektur dan sipil yang mumpuni.
Bola Soba dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri sekitar tahun 1890. Awalnya, diperuntukkan sebagai kediaman raja. Selanjutnya, ditempati oleh putra La Pawawoi, Baso Pagilingi Abdul Hamid yang kemudian diangkat menjadi Petta Ponggawae (Panglima perang) Kerajaan Bone. Seiring dengan ekspansi Belanda yang bermaksud menguasai Sulawesi, termasuk Kerajaan Bone pada masa itu, maka Saoraja Petta Ponggawae ini pun jatuh ke tangan Belanda dan dijadikan sebagai markas tentara. Tahun 1912, difungsikan sebagai mes atau penginapan untuk menjamu tamu Belanda. Berawal dari sinilah penamaan Bola Soba’ yang berarti rumah persahabatan.
Bola Soba memiliki panjang 39,45 meter terdiri dari empat bagian utama, yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), lari-larian/selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter) serta bagian belakang yang diperuntukkan sebagai ruang dapur (4,30 meter). Dindingnya dilengkapi dengan ukiran pola daun dan kembang sebagai ciri khas kesenian Islam dan banji (model swastika) yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa.
Bola Soba telah mengalami tiga kali pemindahan lokasi. Awalnya, terletak di Jalan Petta Ponggawae yang saat ini menjadi lokasi rumah jabatan bupati Bone. Selanjutnya, dipindahkan ke Jalan Veteran dan terakhir di Jalan Latenritatta sejak tahun 1978. Peresmiannya dilakukan pada 14 April 1982 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Prof Dr Daoed Joesoef. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Bola Soba didesain untuk mendekati bangunan aslinya. Namun demikian, beberapa bagian juga mengalami perubahan, baik perbedaan bahan maupun ukurannya aslinya.
Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda monumental yang bisa menjelaskan historis bangunan tersebut dengan detail, sedangkan di bagian lain ruangan terdapat ‘bangkai’ meriam tua, potret lukisan Arung Palakka, silsilah raja-raja Bone, serta beberapa benda-benda tertentu yang sengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk melepas nazar. Nampak yang jelas hanya beberapa perlengkapan kesenian, seperti kostum tari dan gong dimana setiap harinya bangunan Bola Soba telah ini menjadi tempat latihan salah satu sanggar kesenian yang ada di kota ini. (sumber: bolasoba.blogspot.com / foto: Hasbi Photographer)

posting : kabarkami.com
»»   Selengkapnya...

Percikan Perenungan : 100 Tahun Injil Masuk Toraja dan Kemiskinan Jemaat

TNO-Tana Toraja, Pagi itu seorang kakek dan cucunya tergopoh-gopoh meninggalkan rumahnya yang reot, disamping rumahnya bahkan berhimpitan ada dua petak kosong bekas kandang babi yang sudah tidak dimilikinya lagi. Si Kakek dan cucunya rupanya menuju Gereja Jemaat "TENDENG" yang tidak jauh dari rumahnya, sesampainya di sana, sang kakek renta mengumbar senyum, dan hanya ditanggapi dingin beberapa orang warga Jemaat yang masih sibuk mengurusi jas dan dasinya, ehh. Ini Gereja kan? tanya sang cucu yang hanya bisa menggunakan sendal tua pemberian tetangga dekat rumahnya. Dijawab sang kakek, Ia, kenapa? cu'. Mereka semua sibuk urus pakaian dan sepatunya, kakek tidak ditegurnya. Dengan tersipu sang kakek menjawab seadanya, "Cepatlah masuk Cu, nanti kita terlambat". 

Setibanya dalam ruangan ibadah yang namanya Gereja, masih tampak lengang, hanya bagian belakang yang tampak sudah terisi. Inilah tradisi ! Tibalah saat ibadah, dan tak terasa kakek pun menangis? ada apa gerangan? Sang Pendeta bercerita tentang suka cita di surga, dan memberikan harapan-harapan yang indah....?!? Saat ibadah telah selesai, sang kakek mengajak cucunya untuk pulang, dan akhirnya mereka berdua menuju rumahnya dan tiba kembali di rumahnya yang sangat jauh berbeda kondisinya dengan harapan-harapan semua orang...Hidup Layak. 

Setelah menyapa sang istri, nenek bertanya ke cucunya, cu...apa yang diceritakan di gereja...spontan sang cucu menjawab  ..." Nek, belikan saya sepatu, dan baju baru!, sang nenek kaget, dia tertunduk lunglai disisi sang kakek yang mulai murung. "Cu, kalau kakek dapat uang,yach. Kepasrahan nampak di wajah cucunya, yang tak pernah merasakan belaian ibu yang meninggal karena sakit. Kondisi seperti ini, kita masih sering jumpai, sangat kontras dalam jemaat, banyak perilaku yang sebenarnya bertentangan dengan hukum "KASIH" andalan sang Juruslamat. Siapakah yang miskin dan dimanakah Lembaga Gereja, atau hanya pada saat akan direnovasi baru ingat jumlah jemaatnya dan menutup mata terhadap kondisi jemaat, banyak jebakan-jebakan yang terkadang menjadi sandungan, Hiduplah meneladani Kristus, bukan seperti orang Farisi dan Orang Fasik. Perenungan Jangan Jadikan Gereja sebagai Pasar...Masih Ingatkah Kasus KOMPOR..?!!!!!! (fer)
»»   Selengkapnya...

Polda Sulselbar Selenggarakan Musrenbang

TNO-Sulsel - Makassar,
Kabid humas Polda Sulselbar Kombes Pol Endi Sutendi menjelaskan Musyawarah perencanaan pembangunan dan pembangunan  (musrenbang) yang dilaksanakan pada hari kamis tanggal 14 maret 2013,pukul 10.00 wita. Dibuka oleh Kapolda Sulselbar Irjen Pol Mudji Waluyo,yang dihadiri oleh para pejabat utama,para Kapolres,para Kabag Renmin polda,serta kabag renmin polres dan stap jajaran polda sulselbar.
Endi mengatakan tujuan Musrenbang tersebut adalah sosialisasi pembuatan rancangan renja guna untuk ditindak lanjuti membuat rancangan renja untuk tahun 2014 oleh masing-masing satker Polda dan Polres jajaran polda Sulselbar.
Dia menambahkan bahwa hal-hal tersebut yang perlu dimaksudkan dalam kegiatan tahun 2014 dapat dibahas dan diusulkan awal usulan-usulan tersebut, sifatnya button up dari bawah, yang kemudian akan dikompulir jadi satu tambahnya melalui via telpon seluler dengan pesan singkatnya (sms),tanggal 15 maret 2013 sehari setelah Musrenbang dilaksanakan.
Sambung Endi menuturkan bahwa berdasarkan hasil usulan itu yang merupakan Rarenja Polda dan nantinya akan menjadi rarenja polda Sulselbar tahun 2014, jika telah disetujui dan ditetapkan oleh pusat tutur Endi kepada Indofakta online. (rusli)

posting :Indofakta Online
»»   Selengkapnya...

Lahan Kritis Toraja Potensial Bencana

TNO-Toraja, Penyebaran Lahan Kritis di Kabupaten Tana Toraja hampir pada semua kawasan hutan baik hutan produksi maupun hutan lindung, Lahan Kritis terjadi pula pada lahan-lahan di luar kawasan hutan sehingga secara kumulatif akan berakibat pada semakin kritisnya kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS).

Luas lahan kritis (di dalam maupun di luar kawasan hutan) di Kabupaten Tana toraja sampai Tahun 2010 meliputi : kriteria sangat kritis 68.643 Ha, kritis mencapai 43.235 Ha, agak kritis seluas 16.707 Ha dan Tidak kritis seluas 79.919 Ha. lahan kritis tersebut sebagian besar tersebar di didalam kawasan hutan terutama pada Kawasan hutan Lindung yaitu seluas 43.885 Ha dengan tingkat kekritisan mulai dari Sangat Kritis (SK) sampai dengan Agak Kritis (AK), pada Kawasan hutan produksi terbatas lahan kritis seluas 13.115 Ha, sedangkan pada Areal penggunaan lain (APL) terdapat lahan kritis seluas 71.585 Ha dengan tingkat kekritisan Agak Kritis sampai Sangat Kritis. Sebagian besar lahan kritis yang ada di kabupaten Tana Toraja terdapat di Kecamatan Simbuang, Kecamatan Bonggakaradeng dan Kecamatan Masanda.

Berdasarkan Peta Penujukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan No.SK.434/KPTS-II/2009 Tanggal 23 Juli 2009. Alokasi penggunaan lahan dan kawasan hutan di Kabupaten Tana Toraja adalah sebagai berikut
,  Kawasan Hutan Lindung seluas 92.628 ha,  Kawasan Hutan Produksi Terbatas  seluas 20.175 ha, Kawasan Penggunaan Lainnya/APL (Perkebunan, Pertanian, Peternakan, Pertambangan, Pemukiman dan Industri, dll) seluas 95.447 ha.
Kawasan hutan tersebut terbagi dalam beberapa kelompok hutan antara lain : Kelompok Hutan  Buntu Massila/Buntu Karua (HL dan HPT), Kelompok Hutan Latimojong (HL), Kelompok Hutan Tumborera (HL), Kelompok Hutan Batualu (HPT), Kelompok Hutan Mapongka (HPT), Kelompok Hutan Ponean (HPT), Kelompok Hutan Buntu Gasing/Buntu Ambeso (HPT).(FMC)
»»   Selengkapnya...

Kamis, 14 Maret 2013

Dangke, Keju Khas Satu-satunya Di Indonesia

Humanity | Indra J Mae

TNO-Enrekang, Keju merupakan salah satu makanan bernutrisi tinggi yang paling terkenal didunia dan menjadi bahan pangan utama di Eropa. Keju merupakan hasil produksi dari pengentalan susu murni dan diduga pertama kali ditemukan di timur tengah. Di Indonesia, Keju menjadi salah satu makanan pelengkap bergengsi untuk masyarakat menengah keatas.
Tahukah anda bahwa di Indonesia, satu-satunya daerah penghasil makanan seperti keju ini ada di Enrekang Sulawesi Selatan. Keju lokal ini merupakan makanan tradisional yang populer di masyarakat Sulsel dengan nama Dangke.  Makanan khas masyarakat Enrekang ini dibuat dengan menggunakan susu kerbau atau sapi sebagai bahan bakunya dan diolah melalui proses penggumpalan susu dengan bantuan enzim protease dari daun dan buah pepaya.
Prosesnya sederhana yaitu air susu sapi/kerbau disaring untuk memisahkan kotoran dengan susu sebelum dilakukan fermentasi. Air susu kemudian dimasak dengan suhu minimal 70 derajat Celsius, kemudian dicampur getah pepaya. Getah ini untuk memisahkan lemak, protein, dan air. Selain itu, getah pepaya berfungsi untuk memadatkan bahan susu. Setelah lemak, protein, dan air dipisahkan, barulah dilakukan proses mencetak. Alat yang digunakan untuk mencetak dangke juga menggunakan alat tradisional, yakni tempurung kelapa. Usai proses tersebut, Dangke yang berwarna keputihan dengan bentuk kerucut itu pun dibungkus daun pisang agar tahan lama.
Sampai saat ini, Dangke masih diproduksi oleh industri-industri kecil masyarakat setempat dengan cara tradisional. Kendati Dangke menjadi produk komoditi unggulan Kabupaten Enrekang dan cukup digemari namun pola produksi dan strategi pemasarannya belum memadai sama sekali. Dinas Pariwisata Enrekang mengakui bahwa produk Dangke ini sudah menyeberang ke negara Malaysia dan Jepang namun pengembangan produksinya masih berjalan dilevel industri kecil. Belum ada investasi besar yang meliriknya karena minim promosi dan belum menjadi skala perioritas.
Masalah utama penyebab tidak populernya makanan tradisional dangke adalah karena kurangnya sentuhan teknologi produksi dan pengemasan tata saji. Produk dangke akan memiliki nilai jual dan selera yang tinggi jika disajikan dengan cara yang lebih kontemporer melalui sentuhan teknologi dan tangan-tangan pemasak-pemasak handal.Selain itu, ketersediaan bahan baku yang berasal dari ternak sapi dan kerbau harus menjamin stok kebutuhan produksi dengan jaminan kualitas yang tinggi.
Kebijakan dan program jangka pendek yang diperlukan dalam mengembangkan makanan tradisional adalah menciptakan kondisi agar para konsumen lokal pulih kembali untuk mengkonsumsi makanan tradisional. Hal ini dapat ditempuh dengan penyuluhan pangan dan gizi, sosialisasi di warung makan lokal, Hotel dan restoran, Supermarket melalui tata saji, tata makan dan strategi promosi yang profesional. Penanganan ini tentunya bukan hanya pemerintah daerah Enrekang saja yang harus berjibaku namun perlu perhatian khusus dari pemerintah propinsi untuk mendukung pelestarian nilai-nilai pencitraan pariwisata dan industri masyarakat.
Sumber : Hasil penelitian Muh. Ridwan – www.damandiri.or.id
Enrekang info
»»   Selengkapnya...

Sutra Lokal sulawesi Selatan Punah?

TNO-Sul-Sel, Budi daya sutera alam telah dikenal sejak tahun 1950-an di Sulawesi Selatan dan sampai sekarang masih digeluti oleh sebagian masyarakat pedesaan. Menurut Balai Persuteraan Alam,terdapat 3.214 kepala keluarga yang menggeluti usaha tani murbei dan kokon, dengan luas areal tanaman murbei 1.713 hektar yang tersebar di 11 kabupaten.
Sampai saat ini produksi benang sutera lokal Sulawesi Selatan masih merupakan yang terbesar di Indonesia dengan produksi 54,53 ton dari 64,02 ton produksi nasional atau 86% (Departemen Kehutanan, 2008) namun ironis dengan kondisi yang terjadi di lapangan ketika produksi bahan lokal mulai mengalami penurunan akibat gencarnya impor bahan dari negara lain.
Selembar kain sutera menggunakan dua jenis benang yaitu benang lungsi dan benang pakan. Umumnya, pengrajin sutera Sengkang mengimpor benang lungsi dari Hongkong. Benang sutera lokal sekarang sudah jarang dijumpai, harganya sangat mahal dengan keuntungan tidak sebanding.
Untuk benang pakan, para pengrajin sutera sudah menggunakan benang lokal yang berasal dari Soppeng atau Enrekang. Di peternakan kokon, bayi ulat sutera dipelihara di atas bale-bale beralas daun murbei yang merupakan makanan ulat. Setelah kenyang, ulat akan diam dan siap mengeluarkan liur hingga ulat menjadi kepompong. Bentuknya seperti telur puyuh, berwarna putih dan lembut yang disebut kokon. Kokon inilah yang dipintal menjadi benang sutera dan selanjutnya akan menjadi kain sutera.
dalam perjalanannya sejak 1950-an, perkembangan industri persuteraan alam beberapa tahun belakangan ini mengalami kemorosotan akibat kelangkaan bahan baku sutera lokal (sutera asli). Akibatnya, para pengrajin harus beralih menggunakan benang sutera India. Selain harganya yang cukup murah juga proses pengelolaan sampai menghasilkan kain juga relatif singkat. Sekilas tidak ada perbedaan, namun produk sutera lokal lebih lembut kainnya.
Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Wajo, Andi Ampa Passamula mengakui kondisi tersebut. Menurut dia mahalnya benang sutera lokal, karena daerah asal bahan baku seperti Enrekang dan Soppeng sudah tidak mampu menyuplai lagi. Sehingga, terjadi kelangkaan. Bahan baku sutera lokal ini menggunakan ulat peru. Ada juga ulat China.
Pengolahan bahan baku mulai dari bibit atau telur ulat sehingga bisa menghasilkan sutera yang sudah dipintal hanya bisa dijumpai di Kecamatan Sabbangparu, misalnya lingkungan Salojampu Kelurahan Sompe, Desa Mellusesalo Kelurahan Salotengnga Wajo Sulawesi Selatan.
Namun kondisi saat ini yaitu para pegusaha ulat tersebut sudah banyak yang gulung tikar. Lahan murbei yang luasnya puluhan hektar sudah dibabat habis dan mereka ramai-ramai beralih jadi petani kakao.
“Dulu hampir semua masyarakat di sini memelihara ulat, tapi banyak yang tidak berhasil, sebab bibit ulat peru yang dibeli dari Balai Persuteraan Alam (BPA) kualitasnya tidak bagus bahkan banyak yang rusak, sehingga masyarakat lebih memilih mencari pekerjaan lain, karena ongkosnya tidak sebanding dengan hasilnya. Kami berharap Pemkab menyuplai ulat China yang jauh lebih bagus kualitasnya, kendati harganya mahal” Ujar salah seorang petani di Wajo.
Saat ini, Dinas Kehutanan dan Perkebunan mulai mensubsidi telur ulat (bibit) kepada petani secara cuma-cuma, juga mensosialisasikan pembersihan ruang pemeliharaan telur. Malah sebelumnya Dishutbun hanya mampu menyuplai 6o box bibit, namun saat ini sudah mampu menyediakan 70 box bibit. Dalam 1 box, biasa menghasilkan sampai 5 kilogram benang.


»»   Selengkapnya...

Kopi Enrekang Lebih Mahal Dari Kopi Luwak?

TNO-Enrekang, Kopi kalosi Dp (Arabika tipika) merupakan salah satu jenis kopi terbaik yang dihasilkan dari Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Tak heran jika kopi ini sangat digemari masyarakat dunia, khususnya Benua Eropa dan Amerika. Harganyapun selangit, untuk satu kilogram kopi kalosi mencapai 180 dollar atau setara dengan Rp180 ribu per kilogram jika kurs dollar yang berlaku Rp10 ribu per dolar. Sedangkan harga kopi biasa hanya Rp9.300 per kilogram.
Kondisi Kabupaten Enrekang dengan ketinggian hingga 2.000 meter di atas permukaan laut (dpl) ini memang sangat memungkinkan tumbuhnya tanaman perkebunan dan sayuran yang subur. Salah satu tanaman perkebunan di daerah ini yang terkenal hingga Benua Eropa dan Amerika yaitu Kopi. Jenis tanaman ini, hanya bisa tumbuh di dataran tinggi, seperti halnya di Kabupaten Enrekang.
Pengembangan kalosi DP dilakukan sebagai ikon dan brand mark Kabupaten Enrekang. Sayangnya, menurut Bupati Enrekang, H La Tinro Latunrung, tanaman kopi ini hampir punah. Pohon kopi istimewa ini kini tersisa beberapa pohon saja. “Rata-rata setiap rumah tangga tersisa satu hingga dua pohon saja,” ungkap La Tinro. Semakin berkurangnya pohon kopi ini membuat bupati merasa prihatin. “Jika ini (kopi kalosi Dp,-red) tak diatasi, saya yakin kopi kalosi akan punah dan hanya menjadi kenangan masa lalu,” katanya di Pendopo rumah jabatan Bupati, beberapa waktu lalu.
Berawal dari keprihatinan itulah, diapun berupaya mengembalikan kejayaan kopi kalosi dp ini melalui kerja sama dengan lembaga pendidikan terkemuka di Sulsel, Universitas Hasanuddin (Unhas). Kerjasama ini dilakukan untuk pemurnian kopi arabika tipika atau lebih dikenal, kopi Kalosi Dp. Upaya ini terus dilakukan di tengah keprihatinan akan semakin punahnya pohon kopi jenis ini. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Bupati Enrekang, H Latinro La Tunrung langsung menginstruksikan jajarannya menyiapkan lahan 30 hektare untuk pembibitan Kopi Kalosi.
Pemerintah Kabupaten Enrekang benar-benar serius ingin mengembalikan citra Kopi Kalosi, sebagai kopi terbaik yang ada di dunia. La Tinro mengungkapkan, semakin punahnya kopi kalosi dp akibat produksinya yang sangat rendah. Produksi kopi kalosi hanya mampu memproduksi 300-500 kg per hektre. Sementara kopi biasa mampu memproduksi 2 ton per hektare. Perbedaan jumlah proksi inilah yang membuat masyarakat lebih memilih membudidayakan kopi biasa.
Namun dia tidak berputus asa dan pesimis. Sebagai bupati dengan latar belakang pengusaha, justru membuatnya tertantang mengatasi masalah ini. Ayah empat anak ini yakin, nilai ekonomi yang tinggi dari jenis tanaman ini justru akan mengangkat perekonomian masyarakat sekaligus mengangkat citra Enrekang khususnya dan Indonesia di mata dunia.
Hal senada dikatakan Kepala bidang Perkebunan, Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten Enrekang, UmarSappe.
“Harga di pasaran dunia, untuk kopi kalosi DP sebesar 180 dolar per kilogram, sementara kopi arabika biasa hanya Rp9.300,” ungkapnya. Untuk itu, lanjutnya, Dinas pertanian dan perkebunan Enrekang terus berupaya melakukan pembenahan dan pengembangan kopi kalosi Dp. “Beberapa daerah kita akan jadikan sebagai tempat pengembangan kopi arabika tipika (kalosi Dp-red), seperti di Nating, Bone-bone, Masalle, Buntumondong dan Bungin,” katanya. Dia menambahkan, sesuai instruksi bupati, pihaknya telah menyiapkan lahan seluas 30 hektare di Desa Sawitto Kecamatan Bungin untuk pemurnian dan membuat sumber benih. “Hasilnya nanti akan menjadi sumber benih kopi arabika tipika (kalosi) yang sudah hampir punah. ( Arizal Alamsyah, Sumber Foto : enrekang.com)
»»   Selengkapnya...

Makanan Penghancur Kolesterol Jahat

TNO-Jakarta, MENGONSUMSI jenis makanan tertentu bisa mencegah penumpukan kolesterol. Beberapa makanan sehat berikut ini bisa menjadi pilihan untuk memerangi kolesterol jahat.

Salmon

Penelitian mengungkap, jenis lemak tertentu pada dasarnya melawan kolesterol tinggi. Asam lemak omega-3 misalnya, yang banyak terkandung dalam ikan salmon, membantu menurunkan kadar kolesterol jahat LDL, menurunkan kadar trigliserida, serta meningkatkan kadar kolesterol baik HDL.

Salmon merupakan sumber protein yang baik karena kaya asam lemak omega-3 EPA dan DHA. Kedua jenis lemak ini baik untuk jantung. Asosiasi Jantung Amerika, bahkan menganjurkan konsumsi paling tidak dua takar ikan setiap minggu, khususnya ikan yang kaya omega-3.

Avokad.

Avokad  kaya lemak tunggal tidak jenuh, jenis lemak yang membantu menaikkan kadar kolesterol baik HDL dan menurunkan kadar kolesterol jahat LDL. Selain itu, buah ini mengandung paling banyak beta-sitosterol (lemak tumbuhan yang bermanfaat) dibandingkan jenis buah lainnya. Beta-sitosterol mengurangi jumlah kolesterol yang diserap dari makanan. Jadi, kombinasi beta-sitosterol dan lemak tunggal tidak jenuh membuat buah satu ini menjadi pilihan yang baik dalam memerangi kolesterol.

Avokad juga cenderung kaya kalori. Jadi, ada baiknya menggunakan buah ini sebagai penganti makanan berlemak lain yang sering Anda konsumsi. Asosiasi Jantung Amerika menganjurkan agar Anda memenuhi 15 persen kalori harian dari lemak tunggal tidak jenuh, seperti yang terkandung dalam avokad.

Bawang putih

Bawang putih telah digunakan sebagai bahan pengobatan selama ribuan tahun. Warga Mesir kuno mengonsumsi bawang putih untuk stamina. Dalam pengobatan modern, bawang ini ditemukan bisa menurunkan kolesterol, mencegah pengentalan darah, mengurangi tekanan darah, dan mencegah infeksi. Penelitian, seperti dikutip situs perevention.com, menemukan bahwa bawang putih membantu mencegah pembentukan plak di arteri.

Bawang putih mencegah partike kolesterol menempel ke dinding arteri.

Untuk mendapatkan manfaat, cobalah mengonsumsi dua hingga empat siung bawang putih segar sehari.

Bayam

Bayam kaya lutein, pigmen yang terkandung dalam sayuran berdaun hijau gelap dan kuning telur. Lutein telah terbukti efektif melindungi dari age-related macular degeneration (AMD), penyebab utama kebutaan. Penelitian baru-baru ini menemukan, setengah cangkir makanan kaya lutein sehari bisa mencegah serangan jantung dengan membantu dinding arteri melepaskan kolesterol , penyebab penyumbatan.

Teh

Teh, baik panas maupun dingin, mengandung komponen antioksidan. Studi-studi menemukan bahwa teh membantu menjaga kelenturan pembuluh darah dan mecegah pengentalan darah. Kandungan antioksidan flavonoid dalam teh terbukti mencegah oksidasi kolesterol jahat LDL, yang memicu pembentukan plak di dinding arteri. Antioksidan kuat ini juga dinyatakan menurunkan kolesterol dan tekanan darah.

Secangkir teh panas pada dasarnya mengandung lebih banyak antioksidan dibandingkan satu takar buah atau sayur. Teh hijau dan teh hitam mengandung kadar antioksidan yang sama. Cobalah menikmati paling tidak secangkir teh sehari.

Dark chocolate

Dibandingkan dengan cokelat susu, jenis dark chocolate mengandung antioksidan tiga kali lebih banyak. Kandungan antioksidan flavonoid di dalamnya bekerja mencegah pengentalan darah, sehingga mencegah penyumbatan arteri. (fol)

 
posting :infoindo.com
»»   Selengkapnya...

SULBAR DI JADIKAN CONTOH PEMBANGUNAN RUMAH LAYAK HUNI

TNO-Sulbar, Sulawesi barat di jadikan percontohan pembangunan rumah layak huni oleh Kementerian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, yang bekerja sama dengan Federasi Serikat Buruh Indonesia Serta Jamsostek,  sebanyak lima ribuh  rumah layak huni yang akan di bangun di Sulawesi Barat.
Dan akan di jadikan   keberhasilan  pembangunan rumah layak huni di Indonesia. Saat di temui beberapa wartawan, Presiden Majelis Permusyawaratan Buruh Nasional Konfederensi Serikat Buruh Demokrasi Seluruh Indonesia  Profesor Doktor Abdul Azis Rimba mengatakan, Sulbar akan di jadikan percontohan untuk keberhasilan pembangunan rumah layak huni. Keberhasilan pembagunan rumah layak huni di sulbar akan di jadikan sampel di Daerah Provinsi lain seperti Papua, Aceh, Kalimantan, dan sejumlah daerah lainnya di Indoensia. Dari hal tersebut pembangunan yang dilakukan mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik itu Pemerintah dan masyarakat, sehingga memahami pembangunan yang akan dilaksanakan, agar Sulawesi Barat dapat di jadikan contoh untuk Daerah-Daerah lain  di Indonesia.
»»   Selengkapnya...

Bupati Nilai Apel Pagi Belum Bagus

RANTEPAO --- Bupati Toraja Utara, Frederik Batti Sorring, mengharapakan di semua SKPD agar apel pagi terus diaktifkan di kantornya, masing-masing. Apel pagi ini sebagai salah satu bentuk kedisplinan PNS untuk tepat wakt pimpinan SKPD dalam apel itu memberikan arahan-arahan dan bimbingan kepada stafnya ke bawah untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing dalam bekerja sepanjang hari kerja itu, sehingga ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan dapat tepat waktu.
Untuk itu, kata Sorring, dalam persiapan apel pagi di kantor SKPD masing-masing, harusnya pimpinan SKPD lebih awal hadir di kantornya dari pada stafnya ke bawah, itu dimaksudkan selain memberi contoh kedisplinan waktu, juga pimpinan SKPD dapat merumuskan dengan baik tentang materi-materi yang akan disampaikan di depan stafnya saat apel.
“Persiapan yang baik dalam melakukan sesuatu, merupakan salah satu strategi dalam pencapaian hasil dari semua program. Inilah yang saya maksudkan pimpinan SKPD harus lebih dahulu hadir di kantornya sehingga persiapannya dalam memimpin apel dan arahan-arahannya ke pada stafnya juga lebih tepat dan matang, sehingga staf yang bekerja pada hari itu mendapat inspirasi dan motivasi dari pimanannya,” katanya.
Sorring juga dalam penilaiannya terhadap semua SKPD, katanya sudah ada yang bagus dalam apel paginya, dan juga masih ada yang belum bagus. “SKPD yang belum bagus dalam pelaksanaan apel paginya di kantor agar ditingkatkan sehingga ke depan semuanya bagus sehingga harapan tingkat kedisplinan mulai dari pimpinan SKPD hingga pada stafnya ke bawah dapat tercapai,” harap Sorring, dalam pertemuan sosialisasi sensus pertanian, di ruang pola bupati.(rp7/ary/d)

posting: palopo pos
»»   Selengkapnya...

Selingkuhi Istri Orang, Anggota DPRD Digerebek - Fajar Online

»»   Selengkapnya...

Rabu, 13 Maret 2013

Pelaku Pembakaran Bus Terlihat di CCTV

TNO-MAKASSAR -- Penyebab terbakarnya satu unit bus Perusahaan Otobus (PO) Bintang Prima, Rabu, 13 Maret, mulai terkuak. Dari rekaman Closed Circuit Television (CCTV) yang diperoleh polisi, bus diduga sengaja dibakar.

Kanit Reskrim Polsekta Tamalanrea, AKP Salim yang datang di lokasi kejadian menjelaskan, terbakarnya bus Bintang Prima sangat besar indikasinya aksi pembakaran. Dari pengamatan pada CCTV, pelakunya dua orang menggunakan helm.

Menurut Salim, kemungkinan besar aksi ini dilakukan setelah melakukan pelemparan pada kantor perwakilan Bus Bintang Prima yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan 18.

Aksi ini dilakukan dengan mudah dan sulit dideteksi karena saat kejadian tidak ada penjagaan dan pintu pagar juga tidak tertutup. "Tiba-tiba bus yang terparkir terbakar hingga hangus," katanya.

Salim mengatakan, untuk kepentingan penyelidikan, pihaknya sudah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Selain itu, juga telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi.

"Kami sudah melakukan pemeriksaan saksi-saksi dan melakukan olah TKP. Namun tidak ditemukan tanda-tanda adanya pelemparan bom molotov sehingga diduga sengaja dibakar, " jelas Salim.

Informasi yang dihimpun di lokasi kejadian, beberapa waktu lalu sempat terjadi kesalapahaman antara warga sekitar PO itu dengan karyawan. Namun, hingga saat ini motif dan penyebab terjadinya kebakaran, kepolisian masih melakukan penyelidikan dan pendalaman. (arm/rif)


»»   Selengkapnya...

Brankas Dinkes Dilarikan Maling, Kadiskes Ke Jakarta

TNO-Rantepao, Modus kejahatan pelaku dengan membawa lari brankas milik Dinkes Torut ini sudah diketahui Kepala Dinas Kesehatan Torut, dr. Hendrik Kala'timang. Walau mengetahui brankas Dinas yang dipimpinnya berisi ratusan juta rupiah, milik sebagian gaji pegawai serta operasional Dinkse Torut dibawa lari, namun kekeh pergi ke Jakarta dalam rangka dinas.
Salah satu staff Dinkes Torut diwawancarai kabar-toraja.com di TKP yang meminta namanya tidak disebutkan, mengakui Kadis ke Jakarta pada Senin (11/3/2013).
Ya, pak Kadis ke Jakarta dalam rangka Dinas,” singkat Staf Dinkes Torut tersebut membenarkan.

posting : kabartoraja.com
»»   Selengkapnya...