Selasa, 16 April 2013

Awal Peradaban Kerajaan Luwu

(Sebuah Tinjauan Linguistik Diakronik)
Oleh Ashari Thamrin

Gambar1. Peta Kerajaan Luwu Periode 6 Raja (Generasi) Pertama atau Periode Galigo
ABSTRAK
Dari sumber sejarah, tinjauan kebahasaan, dan Epos Lagaligo, diketahui bahwa Peradaban Luwu muncul dari Salu Pongko yakni di wilayah Wotu antara 3.000 hingga 2.000 tahun silam. Diduga, Wotu dahulu kala pernah didiami suku tertua yang bernamaTo Pongko, namun nama suku ini tidak lagi berhasil diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun sumber sejarah (penutur). Dari To Pongko lahir 2 (dua) anak suku, yakni To Liu’ (Lowland) dan To Riu’ (Highland) antara 2.500 hingga 2.000 tahun silam. Ke-2 nama anak suku ini juga tak dapat diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun sumber sejarah, tetapi masih dapat diidentifikasi melalui Epos Lagaligo dengan term (istilah) yang berbeda.
Simpelnya,To Pongko (Wotu) melahirkan 2 (dua) anak suku utama. Suku pertama adalah sukuTo LIU’ (di kenal dalam Epos Lagaligo dengan nama Buriq Liu’) yang akhirnyalebih populer disebut dengan To Luwu. Suku ini berdiaspora dari Wotu ke MuaraSalu’ Pongko (sekarang Salo’ Bongko’) dan akhirnya membentuk sebuah peradaban Lowland (dataran rendah) di Pesisir Pantai Malangke, setelah merangkak perlahan melalui Pantai Lemo di Burau. Suku kedua adalah suku To RIU’ (dalam EposLagaligo dikenal dengan nama WAWENRIU’ -singkatan dari Wawa INIA Rahampu’u), yang berdiaspora dari Wotu dan akhirnya berkumpul dan membentuk sebuah peradaban Highland (dataran tinggi) di sekitar Danau Matano, setelah merangkak perlahan melalui beberapa sungai, seperti sungai Manurung dan sungai Larona (keduanya di Luwu Timur sekarang).

Perkawinan Batara Guru (La Toge’ Langi’) dengan We Nyili’ Timo dianggap sebagai lambang reunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua) keluarga besar dari suku To RIU(WAWENRIU) dengan suku To LIU (LUWU) yang berasal dari satu nenek moyang ToPONGKO (Wotu), yang lama terpisah dan tercerai berai akibat diaspora (penyebaran penduduk/keturunan). Kelahiran BATARA LATTU dari Perkawinan ini dapat dianggap sebagai simbol lahirnya kembali (reinkarnasi) nenek moyang mereka ‘ToPONGKO’, sebagai manusia awal yang pernah mendiami Tana Luwu di Wotu. Karena itulah, Reunifikasi keluarga ini dikukuhkan dengan dijadikannya Wotu sebagai Ware’ (Kotaraja) Kerajaan Luwu yang pertama.
PENDAHULUAN
Kerajaan Luwu adalah Kerajaan Tertua di Sulawesi yang amat luas wilayah kekuasaannya. Peta di bawah judul tulisan ini yang dikutip dari tulisan ALBERT SCHRAUWERS dalam buku Houses, Hierarchy, Headhunting and Exchange:Rethinking Political Relations in the Southeast Asian Realm of Luwu’menggambarkan hal tersebut. Penuturan beberapa orang masyarakatGorontalo di ujung utara bekas kerajaan ini yang mengakui bahwa nenek moyang merekaberasal dari Bugis (Luwu), hanya contoh kecil hegemony kerajaan ini di masa lalu.
Daribeberapa Lontara yang kemudian dijadikan catatan sejarah, juga diketahui bahwa Silsilahraja-raja di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat bersumberdari Kerajaan Luwu. Hal tersebut diungkap Andi Zainal Abidin dalam Buku ‘The Emergency of Early Kingdoms in SouthSulawesi, 1983: halaman 212, sebagai berikut:
“…. No one in South Sulawesi denies theimportance of Luwu’. According to a popular belief and genealogies of the kingsand nobility in South Sulawesi, Luwu’ was founded before the formation ofBugis, Makassar and Mandar kingdoms. Several Lontara’ readers estimated thatLuwu’ was founded in the thirteenth century, while two Assistant Commissionersof Bone … estimated, without giving any evidence, that Luwu’ was foundedabout the twelfth century. According to Couvreur, the Governor of Celeves(1929), Luwu’ was the most powerful kingdom in Sulawesi from the tenth to thefourteenth century. This opinion is supported by the highest respect that thenobility in Luwu’ traditionally enjoyed. Even petty principalities likeSelayar, Siang, Lamatti’ and Bulo-Bulo claimed that their first kings had comefrom Luwu’ ….”
Titik awal peradaban dapat diketahuidari buku Republik Indonesia Propinsi Sulawesi bertarikh tahun 1951. Dalam buku tersebut tertulis bahwa asal-usul orang Toradja sama saja dengan orang’ Bugis yang mendiami daerah sekitar Afdeeling Luwu. Kedua suku ini berasal dari Pulau Pongko sekitar 2000 hingga 3000 tahun silam.
Disebutkan pula bahwa melihat tjatatan tahun kedatangan orang Toradja itu di daerah tempat kediaman mereka sekarang, dan memperbandingkan tjatatan tahun turunnja Tomanurung Tamborolangie,  jang kira2 1 a 2000 tahun jang lalu, maka agaknja tidak ada suatu alasan positief jang menjangkal, bahwa asal turunan orang Toradja itu sama sadja dengan turunan orang Bugis jang kini mendiami daerah2 sebelah Utara Luwu. Apalagi menurut tjerita tersebut, bahwa Pongko itu terletak disebelah Selatan dari daerah jang didiami oleh mereka sekarang. Djadinja termasuk dalam daerah jang penduduknja terdiri dari orang2 Bugis Luwu.
—————————————————————————————————————-
Meski keterangan di atas lebih ditujukan kepada asal-usul orang Toraja, namun dengan adanya kata Bugis dan Afdeling Luwu maka sumber ini tetap relevan untuk dijadikan salah satu rujukan utama. Masalah yang timbul dari keterangan tersebut adalah kata majemuk ‘PULAU PONGKO’. Hasil penelusuran Peta Sulawesi Selatan tidak diketahui adanya Pulau Pongko di sebelah selatan, kecuali Pongkor di Bali atau juga Pongkor di Sunda. Adapun kata “PONGKO” di Pulau Sulawesi ini tersebar dari Selatan hingga ke Utara, bahkan sampai ke Filipina Selatan. Kata PONGKO digunakan untuk menamai gunung, sungai, dan toponim geografis lainnya,namun tak satupun yang menggunakannya untuk nama Pulau di sebelah Selatan.Pulau Pongko adanya di sebelah Utara yakni kabupaten Tojo Una-una.
Pulau terdekat yang ada di Sebelah Selatan Afdeeling Luwu adalah Pulau Liwukang, sedangkan pulau terjauh adalah Pulau Selayar. Timbul dugaan bahwa Pulau Liwukang (sekarang; Libukang) dahulu kala bernama Pulau Pongko. Keterangan yang diperoleh dari masyarakat menyebutkan bahwa Pulau tersebut sebelumnya memang sekian lama menjadi hunian manusia, sebelum generasi terakhir dari Pulau tersebut migrasi ke Penggoli (Palopo). Di Pulau yang mungil ini terdapat kuburan-kuburan tua To Libukang (orang Libukang).
Dugaan yang sama berlaku untuk Pulau Selayar. Boleh jadi nama Pulau ini sebelumnya bernama Pongko, kemudian dalam Epos Lagaligo dikenal dengan nama Silaja. Bahasa orang Selayar pun mirip dengan bahasa Wotu, suku yang dianggap paling tua diLuwu, atas dasar bahasa yang digunakannya yang tidak digunakan di tempat lain.Laporan hasil eskavasi arkeologi pun menempatkan Selayar diurutan lebih tua–secara radio karbon- dibanding hasil eskavasi arkeologi di Wotu pada khususnya, dan Luwu pada umumnya.
Keyakinan paling kuat atas masalah ersebut adalah telah terjadi kesalahan ketik ataupun kesalahantutur dari sumber sejarah. Yang dimaksud dengan Pulau Pongko dalam keteranganitu adalah SALU’ PONGKO yang secara geografis berada di Malangke. Salu’ Pongkoartinya Muara Sungai, jenis tutur bahasa yang menggunakan hukum DM. Jika diubah dalam Hukum MD menjadi PONGKO SALU, atau PENGKASALU (Bhs. TAE). Keyakinan inisejalan dengan kutipan dari Blog Anak Bugis Dijemput Di sini, yang menuliskanbahwa: “… ada satu bahasa yang dipergunakan oleh penduduk satu kampung saja,namanya “bahasa Wotu”, untuk kampung Wotu sendiri…”.
Dalam linguistik diakronik,untuk menentukan suku tertua di suatu wilayah, atau suku mana yang menjadisumber asal dari suku-suku lain di sekitarnya, dapat diketahui dari seberapa banyak suatu bahasa dari sebuah suku dipengaruhi oleh kosa kata bahasa-bahasa lain di sekitarnya. Semakin sedikit pengaruh, -atau bahkan nol- maka semakintua bahasa suku tersebut. Wotu begitu dekat dengan Salu Pongko dan sekerabat dengan Suku To Luwu, salah satu suku tertua di Luwu yang pernah mendiami daerah Pabbireng, Malangke. Tidak keliru jika kita meyakini bahwa di Wotu zaman dahulu, hidup sebuah komunitas awal yang bernama ‘To Pongko’, yang kemudian melahirkan suku To Luwu dan danTo Riu, dan suku-suku tua lainnya di sekitar wilayah tersebut yang tidak dapat lagi dideteksi oleh peneliti sejarah, ataupun penutur sejarah.
Kesulitan identifikasi ini terkait anak-anak To Luwu yang menyempal kejazirah Selatan Teluk Bone hingga membentuk identitas diri sebagai To Ugi (sukuBugis), kemudian kembali ke kampung leluhur mereka di Luwu sejak abad ke 15. Akibatarus balik ini, beberapa tempat bersejarah yang seharusnya dipertahankan namaaslinya, kini berganti nama menyesuaikan lidah anak suku tersebut. Sebagai contoh, SALU PONGKO (Muara Sungai) yang dijelaskan di atas sebagai sumber asalperadaban, kini telah berubah nama menjadi SALO’ BONGKO (Sungai Udang).
PERIODESASI KERAJAAN
Kutipan dari Abidin pada bagian Pendahuluan di atas menempatkan tarikh Kerajaan Luwu berada pada abad ke 10 hingga ke-14Masehi. Sementara keterangan-keterangan dalam Epos I Lagaligo yang berceritera tentang Senrijawa (Sriwijaya), Sunra (Sunda), Bakke (Bangka), Gima (Bima), Kerajaan-kerajaanBate Salapang di Makassar dan beberapa kerajaan Nusantara yang sezaman denganitu menempatkan tarikh kerajaan ini berada pada abad ke-7 hingga abad ke-10 Masehi. Keterangan ini dikuatkan dengan Laporan Arkeologi David Bullbeck yang dikutip dari Van der Hoop 1941:319, bahwa: “… A wastepiece of cast glass found 60 cm beneath the soil near Palopo (van der Hoop1941:319) offers some evidence of advanced pyrotechnology in Luwu by 1000 yearsago. Maksudnya, sekitar 1000 tahun lalu Palopo pernah menjadi sentra industri’pyrotechnology’ atau pencetakan gelas dan kaca.
Keterangan di atas diperkuat pula dengan silsilah raja Gowa-Makassar versi Inggris yang menenempatkan Sawerigading sebagai raja ke- 3 yang bertahta pada abad 1000 Masehi. Dua Raja yang mendahului Sawerigading adalah Batara Guru dan Batara Lattu, merupakan Raja yang sama yang memimpin Kerajaan Luwu. Berikut Silsilah Raja Gowa menurut ForumAward Clasical Studies, Britannica Internet Guide Award:
First Dynasty :
# Batara Guru I
# Batara Lettu
# Saweri Gading………………………………..fl. c. 1000 ?
# Letta Pareppa
# Simpuru Siyang
# Anekaji
# Punyangkuli
# La Malolo
Second Dynasty :
# Ratu SapuMarantaiya………………………….fl. c. 1100 ?
# Karaeng Katangka I
# Ka-Karaeng-an Bate Salapang :
1. Karaeng Garassi
2. Karaeng Katengang
3. Karaeng Parigi
4. Karaeng Siang………………………………..fl. c. 1200 ?
5. Karaeng Sidangraye
6. Karaeng Lebangan
7. Karaeng Panaikang
8. Karaeng Madulo
9. Karaeng Jampaga
Silsilah di atas memang masih diperdebatkan. Penyusun silsilah ini pun tidak menjamin keabsahan tulisannya, sehingga beberapa diantaranya diberi tanda tanya. Apalagi dalam Lontara Gowa dan Tallo telah tertulis silsilah raja Gowa Kuno dengan 4 (empat) orang Raja sebelum Bate Salapang, yakni: (1) Batara Guru; (2) Sariqbattanna tunabunoaTolali; (3) Ratu Sa(m)pu Mara(n)taiya; (4) Karaeng Katangka. Menurut tafsiran J. Noorduyn dan kemudian diteruskan oleh AZ. Abidin, Raja kedua dari Gowa Kunoini adalah Saudara dari Batara Guru. Kemudian dalam Epos Lagaligo, saat Sawerigading memasuki istana baru di Ware’ beberapa nama kerajaan yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (sekarang) turut diundang, seperti Mattoanging, Sawammeqga (Saumata), Kalling, dan Makka ri Ajang (Makassar sekarang).
Periode Sawerigading yang ditempatkanpada abad ke -10 Masehi ini terbantahkan oleh tutur masyarakat tentang pertemuan Sawerigading dengan Nabi Muhammad. Namun ada kesimpulan penting yang dipetikdari keterangan di atas, yakni Luwu dan Makassar pada masa Batara Guru danBatara Lattu serta beberapa Raja sesudahnya (di luar Sawerigading) adalah 2 (dua) wilayah kerajaan dengan 1 (satu) pemerintahan.Hal tersebut dikuatkan dalam Lontara Makassar sebagai berikut:
“Lanri niana kananna angkana :Tanajawakkokuta’nang tonji pangngassenna maggauka ri Bone Na iya pakkuta’nannu kanamakoinai uru manurung ri Luwu napunna najawa’ kanamako inai uru makkasara ri Luwu,inai butta Luwu, inai Limanna buttaya ri Luwu, inai pocci’na buttaya ri Luwu,inai bangkenna buttaya ri Luwu, punna tana assenga najawa’ sikammaya tayyaiantu asana manurunga ri Luwu naungi antu ri empoanna. Napunna lebba’mopa’kuta’nannu ri Karaengan ri Luwu kuta’nang tongi seng Karaenga ri Gowasiagadang Ma’gauka ri Bone, napunna tanajawakka sikamma anjo pa’kuta’nanganaungi antu ri empoanna ngaseng sikamma-kammaya.

Gambar 2. Aksara kuno Lalembate atau Lalebbata atau Laklakbatak digunakan di Malangke abad ke-10
Transliterasi I Lagaligo asli dari VanSirk melukiskan ‘Teologi Batara Guru’ yang begitu mirip –tapi tak sama- dengan’Teologi Islam’ yang diajarkan oleh Muhammad. Begitu pun tutur masyarakat yangmengaitkan pertemuan Nabi Muhammad dengan Sawerigading, sehingga meninggalkanbekas keyakinan di Cerekang, Bawakaraeng dan To Lotang, atau juga keyakinanyang dianut oleh Bissu Puang Matoa Saidi tentang “Nur Muhammad”,  menempatkan tarikh kerajaan ini sebelum dansesudah kelahiran Muhammad SAW, yakni sekitar abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi.
Keterangan dari Van Sirk tentang aksaraPallawa yang digunakan dalam Epos Lagaligo (yang asli, berkode BC -BugisChristomatie) menguatkan tutur masyarakat bahwa Kerajaan ini bertarikh antaraabad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi. Sebab dalam Genealogy Script (SilsilahAksara International) dituliskan bahwa Aksara Pallawa yang berasal dari Indiaini digunakan antara tahun 400 Masehi hingga munculnya aksara Kawi pada tahun 775Masehi.

Gambar 3. Aksara Pallawa (Kamboja) yang digunakan pada Lagaligo Menurut Bullbeck
Sementara itu, keterangan dari DavidBullbeck bahwa aksara yang digunakan adalah ‘Indic Script’ atau ‘Brahmi’(aksara India), justru menempatkan kerajaan ini pada abad 600 tahun sebelumMasehi hingga munculnya aksara Pallawa tahun 400 Masehi, jauh lebih tua dariperkiraan semua orang selama ini. Berikut kutipan silsilah aksara Asia Tenggarayang berasal dari India, beserta periode kemunculan dan pemakaiannya:
2.1.1.1. Brahmi abugida – c. 600 BC (India, SriLanka)
2.1.1.1.3. Pallava abugida- c. 400 (S. India)
2.1.1.1.3.3. Old Kawi abugida – c. 775(Indonesia)
2.1.1.1.3.3.1. Javanese abugida- c. 900 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.2. Balinese abugida – c.1000 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.3. Old Sundanese abugida – c. 1300(Indonesia)
2.1.1.1.3.3.3.1. Formal Sundanese abugida- 1997 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.4. Batak abugida – c. 1300 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.5. Baybayin abugida- c. 1300 (Philippines)
2.1.1.1.3.3.6. Buhid abugida- c. 1300(Philippines)
2.1.1.1.3.3.7. Hanunó’o abugida – c.1300 (Philippines)
2.1.1.1.3.3.8. Tagbanwa abugida- c. 1300 (Philippines)
2.1.1.1.3.3.9. Lontara abugida- c. 1600 (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.10. Rejang abugida- ? (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.11. Lampung abugida- ? (Indonesia)
2.1.1.1.3.3.12. Kerinci abugida – ? (Indonesia)

Gambar 4. Perbandingan akasara dalam buku Ritumpanna Welenrengnge halaman 35
Laporan Arkeologi OXYS dan beberapalaporan-laporan arkeologi lain yang mendahuluinya menyatakan bahwa di Seko dan Matano telah dilakukan aktivitas tambang Metalurgy berupa Besi dan Nickel sejak2000 tahun silam, semakin menambah kebingungan kita menetukan periodesasi awal Kerajaan Luwu ini. Andai saja hal ini hanya sebagai asumsi atau dugaan, makakita dapat mengabaikannya dalam rangka penentuan Periodesasi Peradaban Kerajaan Luwu masa lampau. Tapi ternyata tidak, laporan arkeologi untuk pernyataan ini memang telah ada sebelumnya. Bahkan laporan arkeologi yang menyatakan bahwaperadaban di wilayah ini lebih tua dari zaman exploitasi besi 2000 tahun silam, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Temuan tertua dari tabel di atas berupa10 unit ‘charcoal’ atau arang untuk kremasi atau pembakaran mayat di dapat didaerah Sabbang bertarikh abad 410 SM hingga 430 Masehi . Sementara temuantermuda berupa 3 buah tulang dan gigi ditemukan di Salabu bertarikh 1430 Masehihingga 1640 Masehi.
Nah, mengikut pada beberapa keterangansejarah, Epos Lagaligo, dan laporan arkeologi di atas dan dengan berbagaipertimbangan, dapat disimpulkan tentang periodesasi Peradaban dan Kerajaan Luwu,dibagi sebagai sebagai berikut:
  1. Peradaban dimulai antara 3000 hingga2600 Masehi.
  2. Kerajaan Wawenriu’ (Matano), KerajaanLuwu Kuno (Malangke) dan Kerajaan Tompotikka (Palopo) telah ada sebelum 400Masehi. Ke-3 kerajaan ini akan dibahas dibagian akhir tulisan ini.
  3. Kerajaan Luwu Periode Galigo denganBatara Guru sebagai Datu pertama diikuti empat generasi sesudahnya dimulaisekira 400 Masehi hingga 1100 Masehi. Ibukota Pertamanya di Ussu’, disekitarsungai Manurung kemudian dipindah ke Wotu ketika Batara Lattu naik Tahta.
  4. Kerajaan Luwu Periode Lontara denganSimpurusiang sebagai Datu pertama dimulai sejak 1100 Masehi hingga tahun 1945saat Datu terakhir Andi Djemma menyatakan bergabung ke NKRI. (Belum dibahasdalam tulisan ini, dan akan dibahas kemudian)
SUKU DAN BAHASA
Pelras dalam The Bugis, Catatan Kaki No. 9 di halaman 124 mengatakan:“Sebenarnya, pada mulanya, kerajaanLuwu’ bukan kerajaan Bugis, melainkan kerajaan multi-etnis, yang lama kelamaan, sebagai akibat proses perkawinan antar bangsawan tinggi se-Sulawesi Selatan, akhirnya dipimpin oleh sebuah elite yang mengaku Bugis. Dalam sure’ Galigo, tampak jelas bahwa penduduk Tanah Bugis tidak mengerti pembicaraan orang Luwu’, dan dalam Sejarah Wajo’, sekurang-kurangnya sampai abad ke-15, orang Luwu’ dan orang Bugis masih dibedakan.”
———————————————————————————————–
Dari Wikipedia bahasa Indonesia dituliskanbahwa Bahasa Luwu adalah suatu bahasa yang digunakan di Tana Luwu, salahsatu suku bahasa dari lebih sepuluh suku bangsa yang mendiami Tanah Luwu, Sulawesi Selatan. Bahasa Luwu ini digunakan olehsebagian besar penduduk dari Tana Luwu, dari empat kabupaten dan kota,masing-masing kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan kota Palopo. Bahasa Luwu, termasuk serumpundengan bahasa Toraja. BahasaLuwu ini digunakan selaku bahasa percapakan penduduk setempat, mulai dariSelatan perbatasan dengan Buriko Kabupatan Wajo sampai dengan daerah KabupatenLuwu Timur Malili.
————————————————————————————————
Dari BlogAnak Bugis Dijemput Di sini, diketahui bahwa Malaysia familiar dengan nama 5anak Raja Bugis dari Luwu, Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Marewa, DaengCelak dan Daeng Kamase. Kelimanya putra Daeng Kamboja. Dan karena Luwu adalahsatu kerajaan Besar yang kuat yang sangat tua di jantung pulauSulawesi/Selebesi (penamaan dari Sele’ atau keris dari besi) dan silsilah RajaRaja Bugis Makassar berasal dari Luwu’. Penduduk Asli kerajaan Luwu, terbagidalam beberapa suku suku kecil yaitu: (1) Bugis, (2) Toraja, (3) Torongkong, (4)Bela, (5) Baree, (6) Mekongga, (7) Bajo (Bajau).
Tiap suku suku itu, mempunyai bahasa sendiri sendiri, misalnya: Bahasa Bugis, BahasaToraja, Bahasa To Rongkong, Bahasa Bela, Bahasa Baree, dan Bahasa Mekongga.Malah ada satu bahasa yang dipergunakan oleh penduduk satu kampung saja,namanya “bahasa Wotu”, untuk kampung Wotu sendiri. Bahasa yang banyakdipakai adalah Bahasa Bugis dan Bahasa Toraja, karena kedua bahasa ini dianggap bahasa penghubung dalam masyarakat Luwu. Dan kitab I La Galigo Luwu’ jugaditulis dalam bahasa Bugis Kuno. Suku Rongkong umumnya terdapat didaerahMasamba, terutama dikecamatan Rampi, dan sedikit di kecamatan Wara (Palopo) dikampung Lebang. Suku Toraja (yang sudah memisahkan diri dari Luwu) terdapat dibahagian Makale dan Rante Pao, dan di Kewedanaan Palopo di Pantilang dan RanteBalla. Suku Bela dan Baree, terdapat di Kewedanaan Malili, terutama diKecamatan Wotu dan Nuha. Suku Mekongga, terdapat di seluruh daerah Kolaka, DAN SUKU BUGIS, TERDAPAT DI SEMUA DAERAH LUWU, terutama di daerah-daerah pantai.Suku Bajo, tempatnya hanya dilautan dan sangat kurang jumlahnya.
————————————————————————————————-
Keterangan dari Dian Cahyadi1yang tidak Ia sebutkan sumbernya mengatakan:
TanaLu’u (Luwu) asalnya didiami oleh suku To A’a (To A’ atau To Awa atau ToLa’lang) disekitar wilayah Masamba hingga Wotu. Anak suku dari To Rampi O atauRampi skg, persilangan dari suku To Mpere O’ (sdh hilang) sempalan dari suku ToAlan dari wilayah Wera atau Wai Ra’ (sekitar danau To Wuti) kemudian lebihdikenal sebagai To Wuti (Woite). Rampi sempalan dari suku BoliO di wilayahdanau Poso. Di daerah selatannya (Baebunta = Baabanta) hingga Larompong (Ara)didiami oleh suku To Alang (To Ala’)(?) anak suku dari To Raya Tae’ (To Ta’)dan puluhan perkampungan dengan sebutan kaum tiap kampung.
————————————————————————————————-
DalamGenealogy (silsilah) Bahasa Austronesia terungkap bahwa Bahasa TAE dan BahasaBARE’E berasal dari bahasa Melayu. Selanjutnya, dari hasil akulturasi penuturbahasa TAE dan Bahasa BARE’E, maka lahirlah bahasa MAKASSAR. Bahasa Makassarmelahirkan bahasa WOLIO, dan bahasa Wolio melahirkan Bahasa BUGIS dan BahasaMANDAR.
————————————————————————————————–
DIAKRONIK
Melihat dari tutur bahasa yang digunakandi bekas-bekas peradaban Kerajaan Luwu masa lalu sesuai peta di atas, dapatdisimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) kelompok besar jenis bahasa yang pernahdigunakan. Kelompok pertama yaitu jenis bahasa yang banyak menggunakan vokal’O’. Penutur bahasa-bahasa ini bermukim di Gorontalo hingga ke sekitar Danau Poso,Sulawesi Tengah. Bahasa ini lebih cenderung dimasukkan sebagai rumpun bahasaCEBUANO, serumpun dengan bahasa-bahasa yang di pakai di Sulawesi Utara dan dibeberapa tempat di Sulawesi Tengah. Rumpun bahasa ini diturunkan dari bahasaMARANAO (MINDANAO), Filipina Selatan.
Hegemony bahasa bervokal ‘O’ mendapatsaingan ketat dari bahasa tetangganya yang justru banyak menggunakan vokal ‘E’.Penutur bahasa ini mendiami wilayah Sulawesi Selatan dan beberapa titik diSulawesi Tengah. Sedangkan titik temu antara kedua hegemony ini adalah terlihatpada penutur bahasa yang agak seimbang menggunakan vokal ‘O’ dan vokal ‘E’,yang pengaruhnya dimulai di sekitar Danau Poso, Pamona, Matano hingga ke Wotu(Luwu Timur). Hegemony bahasa campur ini memanjang hingga ke bekas kerajaanWOLIO di Sulawesi Tenggara.
Dalam Genealogy bahasa-bahasaAustronesia, bahasa campur ini disebut sebagai bahasa BARE’E, yang dianggapsebagai Saudara kembar bahasa TAE’. Kosakata bahasa BARE’E di sekitar DanauMatano yang berbanding 65% bahasa Melayu dan 35% bahasa Cebuano, menyebabkan bahasaini lebih cenderung dikategorikan sebagai turunan bahasa Melayu ketimbangbahasa Cebuano.
Selain perbandingan kosakata tersebut,hal yang paling penting yang tak dapat diingkari oleh penutur bahasa BARE’E disekitar Danau Matano adalah mereka anak suku pertama yang menyempal dari sukuinduk To Pongko (Wotu), bersamaan dengan penyempalan suku To Luwu dari indukyang sama. Sebelum membentuk peradaban di sekitar Danau Matano serta bahasaidentitas mereka (BARE’E), penyempalan penutur vokal campur ini, awalnyamerangkak dari Wotu ke arah utara dan timur kemudian menyusur 4 (empat) muaralembah sungai di Luwu Timur, yakni muara Sungai Cerekang, muara sungaiManurung, muara sungai Ussu, dan muara Sungai Larona. Penyusuran ini bergerakperlahan dan memakan waktu antar 500 tahun hingga 1 (satu) millenium (1000tahun), hingga keturunan masing-masing mencapai hulu (Puncak) ke-4 (empat) sungaitersebut.
Singkatnya, setelah mencapai 4 hulusungai ini, diaspora anak-anak To Pongko dari hulu ke arah Timur  justru berlangsung lebih cepat dari sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena di daerah hulu, mereka tidak terhambat oleh derasnya aliran sungai yang disebut di atas, banyaknya rawa, rimbunnya hutan dan semak belukar liar seperti di dataran di dataran tengah. Percepatan diaspora ini menyebabkan mereka kembali bertemu di sekitar Danau Matano dan membentuk sebuah Peradaban Highland (Dataran Tinggi). Pergerakan ini tidak terhenti sampai di situ, mereka terus melakukan penetrasi ke berbagai arah, termasuk ke arah utara hingga merekabertemu dengan penutur vokal ‘O’ di sekitar Danau Poso, Pamona, dan beberapatitik yang saat ini masuk dalam wilayah Sulawesi Tengah. Pada saat itulahBahasa BARE’E mulai terbentuk.
Sementara itu pergerakan mereka dariatas hulu ke arah Barat menyebabkan mereka bertemu dengan anak-anak To Pongkolainnya yang sebelumnya telah membentuk peradaban Lowland (dataran rendah) dimuara Salu’ Pongko (Salo’Bongko’). Reuni di dataran tinggi tersebut, selainmemberi andil untuk terciptanya beberapa anak suku lain, seperti To Rongkong,To Seko, To Limbong, To Riaja (Toraja) dan sebagainya, reuni ini juga memberiandil yang signifikan untuk terbentuknya bahasa TAE’, sebagai turunan daribahasa To Luwu di Malangke yang bersumber dari bahasa To Pongko di Wotu. BahasaTAE ini akhirnya digunakan sebagai bahasa tutur (lingua Franca) dari anak-anaksuku Highland yang telah disebutkan di atas.
————————————————————————————————————
Penyempalan penutur vokal campur yang diuraikan di atas bersamaan dengan penyempalan penutur vokal ‘E’ dari To Pongko(Wotu) yang awalnya merangkak dari Wotu. Sebelum membentuk sebuah peradaban,penyempalan penutur vokal campur ini, awalnya merangkak dari Wotu ke arah Barat, menyusur berbagai muara sungai seperti; muara sungai Lambarese, muara sungai Rongkong (Salu Pongko/Salo Bongko) di Malangke, muara sungai Batu Sitanduk, muara Sungai Battang, muara Sungai Boting dan Tompotikka (di Palopo), muara Sungai Kamanre, muara Sungai Bajo, muara sungai Larompong,  dan muara Sungai Siwa. Bahkan ada juga yangberdiaspora melalui laut hingga ke Pammana (Siwa dan Pammana sekarang masukwilayah Kab. Wajo).
Ada 2 (dua) titik peradaban yangterbentuk dari hasil diaspora menyusuri berbagai muara sungai ini, yakni To Liu(Luwu) di Malangke dan To Ompo (Tompo –Tikka-) di Palopo (berdasarkan analisaberbagai sumber, To Ompo di Soppeng itu awalnya berasal dari Palopo). Setelahpenyusuran melalui muara sungai, mereka lalu bergerak ke arah utara melalui muara sungai ke hulu sungai. Dalam kurun waktu 500 tahun hingga 1 (satu)millenum (1000 tahun), mereka pun berhasil menempatkan keturunan mereka hingga di beberapa hulu sungai tersebut, dan membentuk beberapa anak suku, seperti yang dikutip di bagian suku dan bahasa di atas.
Dari segi kebahasaan, dapat dikatakanbahwa diaspora penutur vokal ‘E’ ini agak lambat dalam membentuk bahasa baru. Merekatidak bertemu dengan pesaing dari bahasa lain, kecuali di antara sesama mereka,sehingga dalam kurun waktu millenia pertama sejak menyempal dari induknya,hanya lahir sebuah bahasa baru yakni bahasa TAE,  itupun tidak jauh beda dengan bahasa To Luwu (indukbahasa Tae) di Malangke. Atau, dapat dikatakan tak ada bahasa baru daridiaspora ini, kecuali dialek baru.
Satuketerangan penting terkait hal ini diperoleh dari salah seorang masyarakat Luwu Utara bahwa dahulu kala daerah Wotu hingga Malangke dihuni suatu komunitastertua bernama Suku To Luwu. Ditambahkan pula bahwa bahasa leluhur suku iniadalah bahasa TAE dengan sedikit nuansa bahasa Bugis. Meski generasiTo Luwu saat ini lebih cenderung dikatakan sebagai penutur bahasa BUGIS (dialekLuwu), namun jejak-jejak dari bahasa leluhur mereka banyak diabadikan dalambeberapa Lontara’ Sulawesi Selatan, termasuk dalam EPOS I LAGALIGO (yang asli).Karena itu, mereka lebih sukamenyebut bahasa leluhur mereka itu dengan istilah bahasa Lontara’.
Kelahiranbahasa baru dari diaspora ini, baru terjadi antara abad ke-4 hingga abad ke-10Masehi. Itu pun setelah adanya interaksi antar penutur vokal ‘E’ dengankembarannya penutur vocal campuran melalui perkawinan. Ironisnya, tempat yangmenjadi lahan pembentukan bahasa baru tersebut, justru berada dalam rentangjarak 400 hingga 500 km dari tempat asalnya. Bahasa baru yang terbentuk itu adalah bahasa MAKASSAR, yang lahir dari percampuran bahasa TAE (Luwu) dan bahasaBARE’E (Matano).
SEJARAH PENEMUAN BESI
Fenomena kebahasaan (Linguistik) dibekas Kerajaan Luwu ini, menguatkan keyakinan bahwa pada masa lalu,sesungguhnya ada 2 (dua) peradaban besar yang saling bertanding sekaligusbersanding memperebutkan pengaruh yang bermuara pada Kebesaran Kerajaan Luwu.Kedua peradaban ini mewakili Peradaban LEMBAH DANAU MATANO (kabupaten LuwuTimur sekarang), dan Peradaban LEMBAH SALU PONGKO (sekarang masuk wilayah KabupatenLuwu Utara). Peradaban Lembah Danau Matano memainkan hegemony di wilayah Geografis penutur vokal ‘O’ dan penutur vokal campur (BARE’E). Sementara PeradabanLembah Salu Pongko menguasai wilayah-wilayah Geografis penutur vokal ‘E’.
Selain berebut pengaruh, kedua peradabanini bersaing memproduksi Metalurgy dari perut bumi masing-masing untuk pasokan bahan- bahan pembuatan senjata, alat perang dan kebutuhan-kebutuhan lainnya,baik untuk dipakai sendiri atau pun pesanan dari komunitas lain. Dua sungaibesar yakni sungai LARONA dan sungai RONGKONG- menjadi arus lalulintas untukmengangkut hasil produksi metalurgy mereka ke tempat tujuan pemesanan. SungaiLarona yang mengalirkan air Danau Matano melalui Kota Malili, dan berujung diTeluk Bone, dijadikan sebagai sarana angkut produk tambang oleh penutur vokal ‘campur’,dari sekitar gunung Pongko (Matano) ke tempat tujuan. Sementara sungai Rongkongyang mengalirkan air dari Seko dan Limbong melalui Sabbang/Baebunta danberakhir di Muara Salo’Pongko, dijadikan sarana angkut produk tambang olehpenutur vokal ‘E’ dari Seko ke tujuan pemesanan. Penggalian Arkeologi besar-besar antara tahun 1938 yang dilaporkan oleh Willems dan kawan-kawan dan juga OXYS tahun 2004 pada 2 (dua) peradaban itu menguatkan hal tersebut.
Kokohnya Tanggul bendungan dengan lebar 3 meter, ternyata tak mampu membendung derasnya arus sungai Rongkong
Persaingan yang ketat di antara keduanya, tak urung menyulut api permusuhan dan ancamanpeperangan. Untungnya, peranan besar MACOA BAWALIPU di WOTU yang berada diantara kedua belah pihak dapat meredam percikan api permusuhan tersebut. Solusikawin mawin yang ditawarkan MACOA, dapat diterima dengan senang hati oleh keduabelah pihak. Solusi damai atas ancaman perang ini justru dilukiskan dengansangat indah oleh Lagaligo Putra Sawerigading dalam EPOS LAGALIGO, sebagaipengisian ALE’ KAWA (Dunia Tengah) oleh Batara Guru dari Highland (BOTINGLANGI’/Danau Matano) dan We Nyili’timo dari Lowland (BURIQ LIU’/Pesisir PantaiMalangke).
PerkawinanBatara Guru (La Toge’ Langi’) dengan We Nyili’ Timo dianggap sebagai lambangreunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua) keluarga besar dari suku To RIU’ (WAWENRIU) dengan suku To LIU’ (LUWU) yang berasal dari satu nenek moyang (ToPONGKO), yang lama terpisah dan tercerai berai akibat diaspora (penyebaranpenduduk/keturunan).
Selain sebagai lambang reunifikasi, perkawinan ini pun dapat dianggap strategi yangsengaja dilakukan sebagai bentuk gebrakan diaspora (penyebaran penduduk), untuk mematahkan kebiasaan lama berdiaspora melalui hilir (laut/pantai) dan hulu (gunung)yang telah dilakukan berabad-abad sebelumnya. Pilihan diaspora melalui pesisir pantai atau juga gunung dan mengabaikan diaspora di dataran tengah, dianggap nyaman oleh anak-anak To Pongko yang tidak ingin direpotkan oleh hutan dan semak belukar liar yang memenuhi dataran tengah wilayah Luwu pada masa lampau.
Pilihan diaspora lama dengan menyusuri daerah aliran sungai (DAS) dari hilir ke hulu lebih disukai karena dengan begitu mereka tidak direpotkan dengan persediaan bahan makanan berupa ikan dan udang yang melimpah di sepanjang DAS. Apalagi,tak jauh dari tepi DAS jutaan pohon sagu pun telah siap menanti untuk ditebangdan diambil isinya. Cukup dengan menebang sepohon, mereka sudah dapat hidup sebulan. Mereka tak perlu memikirkan kapan datangnya musim tanam dan kapan waktunya musim panen. Yang ada hanyalah masa panen dan terus memanen.
Satu-satunya hal yang membebani pikiran mereka adalah bagaimana mendapatkan alat tebang yangefektif untuk ‘massambe tabaro’ (menebang pohon sagu) untuk makanan, danmenebang pohon kayu untuk perumahan. Alat tebang berupa batu runcing dianggapsulit dan lamban, dan begitu banyak menguras waktu dan tenaga. Beban pikiranini justru membawa berkah tersendiri bagi nenek moyang orang Luwu. Pencarianalat tebang yang baik, membawa mereka pada penemuan besi.
Danketika mereka mengetahui bahwa ternyata perut bumi mereka dipenuhi olehbiji-biji besi, dan sangat mubazzir jika hanya digunakan untuk keperluan penebangan pohon sagu dan pohon kayu, mereka pun mulai mengeksploitasi besi-besi tersebutuntuk ditukar dan diperdagangkan kepada komunitas lain. Eksploitasi besar-besarantingkat lokal mulai terjadi ketika telah terbentuk 2 peradaban di Danau Matanod an Malangke, yang berujung pada persaingan yang ketat di antara keduanyadan sering menyulut api permusuhan dan ancaman peperangan antar sesama keturunanTo Pongko, sesuai diceriterakan di atas.
TERBENTUKNYA KERAJAAN LUWU
Kembali ke reuni keluarga. Telah disebutkan bahwa perkawinan Batara Guru (La Toge’Langi’) dengan We Nyili’ Timo dianggap sebagai lambang reunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua) keluarga besar dari suku To RIU (WAWENRIU) dengan suku To LIU (LUWU) yang berasal dari satu nenek moyang (To PONGKO), yang lama terpisah dantercerai berai akibat diaspora (penyebaran penduduk/ keturunan). Selain sebagai reuni, perkawinan itu juga dianggap sebagai peredam percikan apipermusuhan di antara kedua peradaban. Dan perkawinan itu pun telah menjadisebuah gebrakan yang mematahkan kebiasaan lama berdiaspora, yang melebar dibagian hilir dan hulu, serta membiarkan bagian tengah menjadi kosong. Pengisiandataran tengah yang kosong ini dilukiskan dengan indah dalam Epos Lagaligo sebagai pengisian ‘Aleq Kawa’ atau dunia tengah.
Beberapa tujuan tersirat di atas juga dilandasi oleh sebuah fikosofi yang bijak akan masa depan keturunan mereka. Orangtua dari kedua belah pihak tentu telahberpikir bahwa keturunan mereka tidak dapat terus menerus mengandalkan sumberdaya alam (SDA) yang tersedia, yang lama kelamaan akan terkuras habis manakalatidak dilakukan peremajaan. Karena itulah, ketika kita membuka episode pertamaEpos Lagaligo: Saat Diturunkannya Batara Guru”, terlihat benar bagaimana RajaPertama Kerajaan Luwu ini di training habis-habisan. Ia tidak diberi makan danminum selama tiga hari-tiga malam, hingga benar-benar merasakan penderitaan.
Takada tujuan lain dari pada training tersebut kecuali memberi proyeksi kepadaBatara Guru bahwa penderitaan seperti itulah yang akan dihadapi oleh keturunanBatara Guru, kelak manakala tidak ada upaya untuk mulai belajar bercocok tanam.Dan tempat paling sesuai untuk bercocok tanam adalah dataran tengah.Efektifitas dari filosofi ini terlihat hingga zaman orde baru lalu, di manaLuwu selalau menjadi penghasil beras nomor satu di Sulsel.
KelahiranBATARA LATTU dari Perkawinan ini dapat dianggap sebagai simbol lahirnya kembali(reinkarnasi) nenek moyang mereka ‘To PONGKO’, sebagai manusia awal yang pernahmendiami Tana Luwu di Wotu. Karena itulah, reunifikasi keluarga ini dikukuhkan dengan dijadikannya Wotu sebagai Ware’ (Kotaraja) Kerajaan Luwu yang pertama,dengan La Toge’ Langi’ sebagai Datu’ Pertama. Selanjutnya, kerajaan inidiserahkan kepada Batara Lattu ketika Ia telah dewasa dan dianggap cakapmemimpin sebuah Kerajaan.
Kelahiran putra mahkota ini dianggap sebagai titik awal menyatunya 2 (dua) peradaban yangdiwakili oleh 3 (tiga) kerajaan tua di Luwu yakni Wawenriu’, Luwu’, danTampotikka.
WELCOME TO WAWENRIU’
Dari uraian di atas dapat ditebak bahwanama Kerajaan Luwu diambil dari kata ‘To Luwu’ (orang Luwu), salah satu sukutertua yang mendiami Malangke, sempalan dari To Pongko (Wotu). Tak adaketerangan yang dapat dijadikan rujukan kenapa dan kapan nama ini disepakatiuntuk mewakili kedua peradaban tersebut. Kuat dugaan, keterampilan orang ToLuwu dalam membuat publikasi dalam bentuk karya tulis berupa Lontara dan jugaEpos Lagaligo menjadi alasan utama kata Luwu dijadikan pemersatu keduanya.
Bahasa yang digunakan dalam EposLagaligo maupun Lontara berasal dari penutur vokal ‘E’, dan bukan menggunakan bahasa dari penutur vokal ‘O’, dan bukan juga menggunakan bahasa titik temuantara keduanya, Bahasa BARE’E. Kendati demikian, bukan berarti tak ada Lontaraatau Lagaligo yang ditulis dalam bahasa Bare’e, karena kenyataannya OrangSelayar mengenal juga Lagaligo dan bahasa orang Selayar begitu mirip dengan bahasa Wotu.
Jika nama Kerajaan Luwu diambil dari Komunitas suku To Luwu, lalu apakah nama yang digunakan untuk menyebut Peradaban Danau Matano ketika itu? Mungkin inilah jawaban dari teka-teki menghilangnya Kerajaan WeWanriu’ selama ini. Agaknya telah terjadi salah eja atau salah tulis dalam Epos Lagaligo, untuk nama Kerajaan Wawenriu’. Inilah yang menyebabkan banyak sejarawan mengalami kesulitan mengidentifikasi toponim kerajaan ini. Kesalahan eja atau penulisan terletak pada pertukaran vokal. Sebetulnya bukan Wewanriu, tetapi Wawenriu’.
Wawenriu’ adalah singkatan dari Wawa INIA Rahampu’u. Pembuktian akanhal ini dapat dilakukan dengan melafalkan kemajemukan kata Wawa Inia Rahampu’u secara berulang-ulang. Secepat apapun kita melafalkan kemajemukan kata tersebut secara berulang-ulang, maka secepat itu pula kita mendapatkan kata Wawenriu’.
ArkeologisBugis Makassar Iwan Sumantri, dalam bukunya yang berjudul “KEDATUAN LUWUmenegaskan, bahwa Wawa Inia Rahampu’u adalah Luwu, dan Luwu adalah Wawa IniaRahampu’u. Penegasan Iwan Sumantri ini menguatkan bahwa Wawenriu itu adalahWewanriu yang sering disebut-sebut dalam Epos Lagaligo.
Kerajaan ini pula yang maksud dalam Epos I Lagaligo sebagai BOTING LANGI’, kerajaan yangmerupakan tempat asal BATARA GURU (La Toge’ Langi’), Raja pertama KedatuanLuwu. Jika ditelusuri melalui kajian linguistik, BOTI(ng) sama dengan WOTI(ng).WOTI artinya Wadah atau Waduk atau DANAU, sedangkan LANGI’ berarti tempat yangtinggi. Dengan demikian, BOTI(ng) LANGI’ artinya DANAU yang berada di KETINGGIAN. Kita dapat membuktikan bahwa satu-satunya danau yang berada di ketinggian diSulawesi Selatan hanya dijumpai ketika kita berjalan dari WASUPONDA ke SOROAKO.Itulah DANAU MATANO, dan di sekitar danau inilah –pada masa lampau- berdiriKerajaan Wawa Inia Rahampu’u, atau WAWENRIU’.

Darisegi asal usul kata, WAWENRIU adalah derivasi (turunan) kata WaeNRIU yang artinyaair minum atau air tawar. Jelas, ini asli ucapan lidah dari penutur vokal ‘E’,seperti yang diuraikan di atas. Jika kata ini ditransformasi ke lidah penuturvokal ‘O’, maka ada beberapa variasi yang akan ditemui, seperti: WAWONRIO,WOWONRIO, WAWONDIO, WOWONDIO, dan sebagainya. 2 (dua) bunyi terakhir yakni WAWONDIO dan WOWONDIO, dekat dengan nama sebuah Kecamatan di Luwu Timur, yaitu WAWONDULA, atau biasa juga orang tuturkan dengan nama WOWONDULA. Kata Wawondula atau Wowondula ini dapat dianggap sebagai bentuk bias dari bahasa BARE’E,sebagai akibat dari persaingan hegemony dua penutur bahasa, yakni kelompokpenutur vokal ‘E’ dari Selatan dan kelompok penutur vokal ‘O’ dari Utara.
Jadi jelas bahwa Wawenriu’ itu adalah Kerajaan Highland, atau kerajaan air tawar. Karena itu tempatnya bukan di muara sungai atau ditepi pantai. Beberapa argumen di atas cukup jelas bagi kita bahwa argumen-argumen itu hanya merujuk kepadaWawa Inia Rahampu’u, sebagai satu-satunya kerajaan yang disebut sebagaiWEWANRIU’ dalam Epos I Lagaligo. Persoalan kesulitan identifikasi selama inibersumber pada kesalahan eja ataupun salah tulis.
TAMPOTIKKA

Satulagi kerajaan yang menjadi perdebatan panjang dari Epos Lagaligo adalah toponim(letak) kerajaan Tompotikka. Sejarawan dan budayawan Internasional, nasional,dan lokal Bugis Makassar lebih sepakat kalau Tompotikka itu berada di LuwukBanggai. Tapi tak ada salahnya kalau orang Bone memiliki sejumlah argumen yangmenyatakan bahwa Tompotikka itu di Bone. Dan sah-sah saja kalau orang Makassarpun punya argumen yang kuat bahwa Tompotikka itu di Makassar. Orang Luwu pun memilikiargumen yang kuat bahwa Tompotikka itu letaknya di Palopo.
Term (istilah) Tompotikka adalah aslibahasa Luwu dan bukan bahasa Luwuk Banggai. Tompotikka adalah kata majemuk, yang jika diurai menghasilkan 2 kosa kata yakni Tompo dan Tikka. Tompo artinya muncul, namun dapat jugadiurai menjadi To dan Ompo yang berarti orang yang muncul. Adapun Tikkamemiliki variasi makna, antara lain; air pasang, musim kering dan siang hari.Makna ‘Tikka’ ini lazim dimengerti di Luwu hingga saat ini, untuk menunjukkanair pasang, musim kering atau juga terkait teriknya matahari di siang hari, danbukan dimaknai terbitnya matahari di pagi hari. Dengan demikian, maknaTompotikka dapat berarti munculnya air pasang, muncul di siang hari, atau punmuncul di musim kemarau. Bisa juga berarti orang yang muncul saat air pasang atauorang yang muncul saat terang, atau pun muncul di musim kemarau.
Jika diurai lebih dalam dari sudutbahasa, maka kata Tompo itu akan menunjukkan beberapa nama tempat (Toponim) diLuwu. TOMPO adalah derivasi (turunan kata) dari TAMPO. Sementara TAMPO adalah derivasi dari kata TAMPU.
TOMPO = TOMPE di Malangke
TAMPO = TAPPO(ng) di Palopo
TAMPU = TAMPU(mia) di Malili
Adakah hubungan makna ini dengan kejadian masa lampau di Luwu? Hingga saat ini hampir setiap hari masih dijumpai orang berduyun- duyun ke Pelabuhan Tanjung Ringgit di Palopo. Kemunculan orang-orang tersebut berada sekitar jam 9 hingga jam 11 Pagi untuk melakukan penyeberangan ke Malangke Bone-bone, Wotu dan Malili, hingga ke Sulawesi Tenggara, atau juga ke arah selatan seperti Belopa Suli Larompong hingga ke Wajodan Bone. Saat jam 9 hingga jam 11 itulah yang disebut dengan Tikka (terang)karena saat itu pula biasanya terjadi Tikka (air pasang). Mereka menunggu airpasang saat terang untuk melakukan penyeberangan. Sebaliknya, orang-orang dari luar Palopo yang ingin masuk ke Palopo, biasanya harus menunggu air pasang agar dapat tiba tepat di anjungan kapal atau perahu di pesisir tanjung ringgit ataupun masuk ke pusat Palopo melalui Sungai Tompotikka atau Sungai Boting. Biasa juga air pasang lebih dulu datang mendahului terang. Namun orang-orang lebih suka berdiam dalam kapal/perahu hingga terang itu datang.

1000 tahun silam, air pasang Tanjung Ringgit Palopo yang terlihat dari gambar ini naik menohok (Ma’tumpa’/Ma’tuppa’/Latuppa’) hingga ke kaki bukit yang terlihat lebih jauh di belakang, Akibatnya, benda-benda di kaki bukit menjadi MAWA’ atau MAWANG yang artinya terapung.
Seperti itulah makna Tompotikka yanglazim di mengerti di Luwu. Pemandangan tersebut memang tidak seramai dulu. Transportasimelalui jalan-jalan darat yang telah menembus sekat-sekat isolasi antar daerahkini lebih disukai masyarakat menggantikan jalur penyeberangan melalui laut. Meskidemikian, kebiasaan menunggu air pasang menjelang siang tersebut hingga kinimasih tetap berlaku bagi beberapa warga atau pelaut, termasuk para nelayan yangingin melaut atau membawa pulang hasil tangkapan ke rumah atau ke tempatpelelangan ikan di Palopo.
TO OMPO
Tentang To Ompo yang telah disinggung diatas, Telah disebutkan bahwa berdasarkan analisa berbagai sumber, To Ompo diSoppeng itu awalnya berasal dari Palopo. Lalu ada apa sehingga mereka pindah keSoppeng? Nama ini dianggap sebagai nama suku yang pertama yang mendiami Palopo. Nama suku ini senasib dengan To Liu’ (Luwu) dan To Riu’ (Wawenriu’) yang takdapat diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun penutur sejarah, namun masihdapat dikenali melalui Epos Lagaligo, dengan term yang agak berbeda. Dari nama suku inilah lahir nama TOMPOTIKKA. Selain makna yang telah diurai di atas, Tompotikka  dapat pula berarti Orang yang hidup di tempat air pasang.
Dari penuturan Drs. Jabbar Hamseng, MH, seorang warga Palopo asal Larompong diketahui bahwa Palopo pernah dilanda banjir bandang yang sangat besar. Banjir bandang ini terjadi akibat bertemunyaair pasang dan air bah (banjir). Meski tidak menyebut kapan terjadinya banjir bandangtersebut, namun dari hasil eskavasi (galian) arkeologi diketahui bahwa daerahini bukan hanya sekali dilanda banjir bandang, tapi telah berkali-kali. 2 (dua)diantara banjir bandang tersebut teridentifikasi melalui laporan arkeologi yangdisampaikan oleh David Bullbeck, bahwa sekitar 1000 tahun yang lalu, Palopopernah menjadi sentra industri ‘pyrotechnology’ atau pencetakan gelas/kaca.Berikut kutipan dari pernyataan David Bullbeck:  “…A waste piece of cast glass found 60 cmbeneath the soil near Palopo (van der Hoop 1941:319) offers some evidence ofadvanced pyrotechnology in Luwu by 1000 years ago….”
Dikatakan pula dalam laporan tersebutbahwa Palopo, meski belum menjadi ibukota Luwu hingga abad ke-17 (Caldwell1993), ditemukan area yang menggemparkan, di mana dieskavasi 2 lembar jubahChe-chiang, yang berasal dari abad ke 13 dan abad ke-14, sesuai yangdiidentifikasi oleh Orsoy de Flines.
Berikut kutipannya: “…Palopo,eventhogh it did not become Luwuk’s capital until the 17th century (Caldwell1993), contains a “tumultous area” where two 13th-14th century Che-chiangceladons were excavated, as identified by Orsoy de Flines….”. Laporanarkeologi di atas dapat kita temukan dalam Ancient Chinese and Southeast AsianBronze Age Cultures, oleh David Bullbeck, 1998.
Keterangan hasil galian arkeologi diatas cukup memberi petunjuk bahwa setidaknya telah dua kali daerah ini dilandabanjir bandang, yakni 1000 tahun lalu dan 700 tahun lalu. Begitu besarnyabanjir sehingga membenamkan wilayah ini. Diduga, banyak korban jiwa akibat banjir tersebut, sementara yang selamat mencari tempat hunian baru. Yang hanyutke Teluk Bone dan selamat dari banjir ini menjadi orang Liwukang (Libukang). KorbanBandang di bagian Barat Daya menjadi orang Warompo, singkatan dari Wara Ompo (Larompong sekarang). Yang hijrah dan mencari tempat tinggi menjadi orangTaulette (sekarang Tanete, di Wajo). Dan yang hijrah dari Tompotikka (Paloposekarang) ke Daerah Soppeng Timur melalui laut, tetap menggunakan identitas ToOmpo dari Tompotikka agar mudah dikenali oleh kerabat dan keluarga yang menjadiasal usul mereka. OMPO’ adalah bahasa Luwu, sama maknanya dengan OMBO (bahasaTAE’) atau OPPO’ (Bahasa Bugis Luwu). Kata yang terakhir ini (oppo’) kini lebihcenderung digunakan untuk memaknai pemenang PILKADA.
Hingga tahun 1970-an air pasang diPalopo masih dijumpai naik hingga ke tempat yang sekarang menjadi KantorWalikota Palopo. Air pasang di Kota Palopo saat ini masih dapat dilihat hampirsetiap hari pada 2 (dua) sungai yang membelah Kota Palopo, yakni Sungai Tompotikka dan Sungai Boting. Air pasang yang besar yang melalui sungai Boting masih biasadijumpai naik hingga ke Luminda, bahkan ke Boting. Sementara air pasang yangmelalui Sungai Tompotikka masih biasa dijumpai naik hingga ke daerah Sempowae,bahkan Mawa.
Seperti itulah gambaran air pasang diPalopo saat ini dan 30 tahun silam, sehingga dapat diduga bahwa 1000 tahun laluair pasang yang melalui sungai Tompotikka itu mencapai Latuppa’, sementara yangmelalui sungai Boting mencapai Lebang. Jika dianalisis secara bahasa, LA TUPPA’itu adalah asli tuturan lidah orang Bugis. Jika kata tersebut ditransformasi kelidah penutur bahasa TAE maka menjadi LA TUMPA’. Tumpa’ artinya menjolok/menohokdari bawah ke atas. Sementara “LA” di depan kata Tumpa’(Tuppa’) adalah penanda defenitif, sama dengan “The” dalam bahasa Inggris atau juga “Al” (alif lamma’rifah) dalam bahasa Arab. Dari analisis ini, kita ketahui bahwa La Tumpa’ (LaTuppa’) itu bermakna sesuatu yang menjolok/menohok dari bawah ke atas ATAUsipenjolok/ sipenohok dari bawah.
Gambaran air pasang yang ketinggiannyamencapai daerah Latuppa ataupun Lebang sekitar 1000 (seribu) tahun yang lalu ini menyebabkan benda-benda di daerah sebelumnya menjadi MAWA’ atau MAWA(NG) yang artinya terapung. Makanya, tidak heran jika dataran yang diapit di antara kedua belah sungai ini di namakan MAWA’. Selain hubungan makna tersebut, warga Palopo saat ini masih banyak yang memegang kepercayaan lama (To Dolo) terkait airpasang. Orang-orangtua yang mengaku modern sekalipun hanya menganjurkan prosesi pindah rumah ketika air pasang, dan tidak akan menganjurkan prosesi pindah rumah ketika air surut.
Nah, itulah sekelumit gambaran tentangTompotikka yang dimaksud dalam Epos Lagaligo. Sungai Tompotikka dan bekas Benteng Tompotikka jadi saksi abadi bahwa Palopo adalah Tompotikka yang dimaksud dalam Epos Lagaligo. Pengabadian itu tetap terpelihara dengan dibentuknya sebuah kelurahan bernama Tompotikka di daerah yang lebih dikenal di Palopo dengan nama Tappo(ng). Dan Tappo(ng) ini adalah bentuk derivasi dari kataTampo.

Gambar 8. Peta yang menunjukkan letak sungai Tompotikka dan Benteng Tompotikka di Palopo
Dikutipdari : Economy, Military and Ideology in Pre-Islamic Luwu, SouthSulawesi, Indonesia oleh David Bullbeck
Istri Batara Lattuq atau Ibunda dari Sawerigading dan Tenriabeng dalam Epos Lagaligo berasal dari Tompotikka. Dalam silsilah yang dikeluarkan Friedericy, yang dapat dilihat dalam buku Ritumpanna Welenrengnge halaman 95, Ibunda Sawerigading dan Tenriabeng itu bernama WE OPUSENGNGENG. ‘OPU’ adalah sapaan yang hanya berlaku bagi bangsawan Luwu yangtelah berkeluarga dan punya keturunan, dan tidak berlaku untuk bangsawan laindi luar wilayah Luwu.

Gambar 9. Silsilah Raja Luwu dari Fredericy
Itulah beberapa bukti sejarah (bukanMitos) bahwa Tompotikka itu adalah Palopo. Tiga Toponim dalam Epos Lagaligoyakni WAWENRIU’, LUWU dan TOMPOTIKKA adalah satu rangkaian yang tak dapatdipisah antara satu dengan yang lain. Tiga kerajaan inilah yang tergabung menjadi satu dalam ikatan perkawinan yang diusulkan oleh Macoa Bawalipu WOTU,sehingga berujung pada kebesaran Kerajaan Luwu.
Setting utama cerita Epos Lagaligoadalah berkisah tentang Luwu, diperankan oleh Raja-raja Luwu, dan ditulis dalambahasa Luwu. Ketiga toponim tersebut di atas berada di Luwu, karena itu sangatkeliru jika ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin mengaburkan salah satu dariketiga Toponim tersebut dengan maksud ingin mengklaim EPOS LAGALIGO sebagaimilik mereka. Bagaimana pun, EPOS LAGALIGO adalah milik orang Luwu.
Palopo pada awal abad peradaban adalahTompotikka. Penamaan menjadi Palopo ini setelah acara penancapan tiang MasjidJami’ Tua ke dalam lubang pondasi pada tahun 1604. Saat itupula ibukotakerajaan Luwu berpindah dari Malangke ke Palopo. Seiring perjalanan waktu,dengan melihat tingginya peradaban Palopo pada masa lampau dan dibandingkandengan tingkat prestasi pembangunan yang dicapai oleh warga Kota Palopo saatini, patut kita bertanya: ADA APA DENGAN PALOPO?
PALOPO artinya “Benamkan”. Lawan katadari itu adalah PA-OMPO yang artinya “Munculkan”. Usai prosesi pembenaman tiangMasjid Jami’ tahun 1604 silam, serta penamaan Kotaraja terakhir Kerajaan Luwuini dengan nama PALOPO yang berarti ‘BENAMKAN’ maka berangsur-angsur terbenampulalah Palopo sebagai Kotaraja Luwu pada khususnya, dan peradaban Luwu padaumumnya, dari dominasi hiruk pikuk Kejayaan masa lampau. Apakah hal ini terkaitdengan penamaan sebuah tempat/daerah? W Allahu a’lam bisshawaab! Rasullullah SAWpernah berwasiat agar memberi nama yang baik kepada anak atau cucu yang barulahir, karena NAMA ADALAH HARAPAN. Orang yang beriman kepada Allah danRasulnya, akan menunaikan wasiat ini. Namun orang yang mengingkari amanah inilebih nyaman dengan slogan dari Shakespear: APALAH ARTI SEBUAH NAMA!
PENUTUP
Tulisan yang membahas tentang AwalPeradaban dan Kerajaan Luwu ini berpedoman pada Catatan Sejarah, Epos Lagaligo,Laporan Arkeologi dan Tinjauan Kebahasaan (Linguistik). Tulisan ini mungkinberbeda dengan tulisan yang telah ada sebelumnya (jika ada), dan hal tersebutdapat dipahami sebagai perbedaan dari sudut pandang semata. Karena itu, tulisan ini dapat dikatakanmasih bersifat HIPOTESIS. Pengakuan, pembenaran serta koreksi dari berbagai komponen Masyarakat Luwu dapat mengukuhkannya sebagai sumber literatur sejarah.
——————————————————————————————————————
Catatan:
Tulisan ini sangat terbuka untuk dikritisi oleh siapapun dan dengan cara apapun.

Wassalam.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar