Senin, 11 Juli 2011

Rekonstruksi TORAJA sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW)

Beberapa tahun yang lalu, Tana Toraja telah menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang terfavorit ke-2 di Indonesia setelah Bali. Keberhasilan Pemerintah Daerah Tana Toraja memajukan sector pariwisata ini sebagai andalan utama bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat beralasan, mengingat adat dan budaya yang unik dan tiada duanya di belahan manapun di dunia ini serta potensi sumberdaya alam yang dimiliki cukup terbatas.
Persoalannya, sector pariwisata saja pada beberapa tahun terakhir ini telah MATI SURI. Jumlah kunjungan wisatawan telah mengalami penurunan yang drastis. Hal ini juga tidak terlepas dari dampak krisis global yang melanda sebagian besar wilayah di Asia Tenggara yang turut mengguncang aktivitas pariwisata di Indonesia termasuk di Tana Toraja dan Bali. Berbeda dengan Toraja, pemerintah daerah Bali, telah berhasil keluar dari persoalan yang krusial tersebut bahkan dapat melaju dengan kunjungan wisatawan yang terus meningkat walaupun beberapa ujian berat yang dilalui seperti aksi teroris yang meluluh lantakkan Bali yang dikenal dengan Bom Bali I dan II berbeda di Toraja. Pertanyaan apa yang salah dalam pengelolaan pariwisata di Toraja?

Merumuskan ulang tawaran daya tarik pariwisata Toraja
Ketika kita ditanya apakah yang paling menarik di Toraja?, maka jawabannya akan beragam. Mungkin saja ada yang menjawab karena adat dan budayanya yang unik, karena pemandangannya yang indah, dan mungkin juga karena masyarakatnya yang ramah. Lalu kalau kita ditanya apakah yang menjadi kendala jika ingin menikmati semua yang disebutkan tersebut di atas?, maka jawabannya akan beragam pula.
Kesemuanya ini perlu dikaji kembali lagi agar kita tidak terlena dengan jawaban pertanyaan pertama di atas. Kebanggaan yang berlebihan bagi kita yang selalu menekankan pada adat dan budaya Toraja adalah yang paling unik se nusantara, bahkan seluruh dunia akan merugikan kita. Adat dan budaya yang paling khas dan unik yang berujung kepada kesombongan diri sehingga mengira wisatawan akan berkunjung dengan sendirinya tanpa adanya usaha untuk menarik mereka secara khusus. Masyarakat Toraja harus menyadari bahwa setiap adat dan budaya keindahan alam, objek panorama, air terjun, ngarai dan lembah banyak dimiliki oleh daerah lain yang tidak kalah dalam memberikan tawaran wisata yang lebih mudah dinikmati dan menarik untuk dikunjungi. Kita boleh saja menyatakan bahwa Toraja jauh lebih indah melebihi alam di Bali, namun dalam kenyataanya Bali adalah ikon pariwisata nasional yang bahkan kepopulerannya jauh melebihi bangsa ini. Dari situ dapat kita tarik satu pelajaran bahwasanya keindahan adat dan budaya serta alam hanya akan menjadi benda mati yang tak bernyawa dan tidak mempunyai daya tarik apapun bagi pengunjung ketika tidak adanya tawaran lain yang lebih baik bagi objek wisata tersebut. Terlebih lagi , saat ini telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan. Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati pemandangan alam saja, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya (culture) dan peninggalan sejarah (heritage) serta alami (nature) atau eko-wisata dari suatu daerah.
Setiap wisatawan yang berkunjung mengharapkan apa yang disebut dengan Triple atraksi yaitu terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas yang mesti dibenahi. Atraksi, dapat diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible aupun intangible) yang meberikan kenikmatan kepada wisatawan. Atraksi sendiri dapat dikategorikan dalam tiga kategori, yakni alam, budaya dan buatan. Atraksi alam meliputi pemandangann alam, seperti pemandangan Batutumonga, udara sejuk dan bersih, hutan, sungai, gua dan lain-lain. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitality, yakni jasa akomodasi atau penginapan, restoran, biro perjalanan, dan sebagainya (Janinton dan Weber, 2006).Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata (Inskeep, 1994), mulai dari darat, laut, sampai udara. Akses ini tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan, dan keselamatan. Diskusi tentang aksesibilitas biasanya lebih banyak menyoroti infrastruktur transportasi negara atau daerah tujuan wisata. Mungkin akses dari negara asal ke tujuan mudah dan lancar. Namun demikian akan timbul kesulitan lain jika di daerah tujuan tidak tersedia jaringan transportasi ke daerah sekitarnya. Demikian halnya di Toraja misalnya ketika wisatawan tiba di Jakarta, Makassar dan Bali namun akses ke Toraja menjadi lebih sulit sekalipun lewat udara. Sayangnya akses udara belum dapat diandalkan menuju ke Toraja sebagai modal transportasi yang tersedia bagi kepentingan wisata ke Toraja. Akiatnya wisatawan terkonsentrasi di Bali. Amenitas adalah infrastruktur yang sebenar tidak langsung terkait dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan. Bank, money changer, telekomunikasi (telepon dan warnet), usaha persewaan (rental), penjual buku panduan wisata, dan lain-lain digolongkan dalam bagian ini.Semakin lengkap dan terintegrasinya ketiga unsur tersebut di dalam produk wisata maka akan semakin kuat posisi penawarannya dalam sistim kepariwisataan. Untuk itu kualitas produk yang ditawarkan mutlak diperlukan. Kualitas produk yang baik terkait empat hal, yakni keunikan, otensitas, originalitas, dan keragaman (Janinton dean Weber, 2006). Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan daya tarik yang khas melekat pada suatu obyek wisata, misalnya Kerbau belang (tedong bonga) dan habitatnya di Toraja dapat dikatakan unik karena tidak ada duanya di dunia. Originaitas atau keaslian mencerminkan keaslian dan kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi oleh atau tidak mengadopsi model atau nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Di sini model seringkali menentukan. Contoh : Di Toraja Banyak bangunan hotel tidak menampilkan arsitektur lokal (tongkonan). Padahal penampilan arsitek dimaksud sangat mencirikan keaslian tanpa mengurangi kenyamanan wisatawan. Demikian pula karyawan hotel tidak lagi mengenakan dasi dan jas serta peci sebagai bagian dari tampilan, melainkan mengenakan pakaian tradisional yang didesain secara memikat. Bandingkan dengan yang ada di Bali dan Jogja bahkan penarik becak dan tukang dokarpun berpakaian tradisional untuk mendukung keaslian budaya yang ditawarkan tersebut. Sementara Otentisitas mengacu pada keaslian tetapi bedanya adalah otentisitas dikaitkan dengan drajat kecantikan atau eksotisme budaya sebagai atraksi wisata (Kontogeorgopolus, 2003 dalam Janinton dan Weber, 2006). Upacara rambu solo' di Tana Toraja tidak saja unik tetapi juga otentik. Ini berbeda dengan upacara kematian di daerah lain.Kejayaan wisata masa lalu Toraja akan terulang jika pemerintah daerah mengkaji ulang kebijakan dan program yang terkait dengan tawaran wisata tersebut. Menggagas ulang model pengembangan dengan merekonstruksi kembali kebijakan sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai oleh Bumi Lakipadada. Dibutuhkan terobosan baru yang kiranya membutuhkan inovasi dan kreativitas antara pelaku wisata dan pembuat kebijakan tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat.
Untuk itu mestinya ada brand yang brilian untuk membuat strategi dan program demi pertumbuhan dunia pariwisata di Toraja. Dalam hal ini menyiapkan strategi khusus untuk menggarap wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan nusantara lokal). Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pertama bagi pemerintah daerah di Toraja yang tidak hanya menjadi jualan dalam menjelang PILKADA nantinya tetapi betul-betul memiliki branding yang kuat menjual image Toraja masa depan. Semoga.
Yunus P. Paulangan
blog : yunuspaulangan.blogspot.com

Artikel Terkait



1 komentar:

Benyamin mengatakan...

Toraja sebagai Tujuan Wisata(DTW)Harga mati untuk membuka mata para petinggi birokrasi di Bumi Laki Padada ini di harapkan bersatulah untuk menata dan menyelamatkan objek2 Wisata yang di Wariskan Leluhur kita.....jangan hanya menonton dan bertepuk tangan bilah pertandingan selesai.....Toraja kaya dgn Adat dan Budayanya tinggal bagai mana meramunya dgn benar.....jangan hanya pintar menghitung bulan dan bintang di langit.... berhentilah tu unle'toan manuk tobuda alias ma'jambai......

Posting Komentar