Jumat, 05 Agustus 2011

Ironi di Negeri Pelangi


Ironi di Negeri Pelangi
Rate This Article:
0
ABOUT THE AUTHOR

Astrid mengendarai motor di jalanan kota kecil itu dan berhenti karena lampu merah menyala. Terlihat seorang ibu yang membonceng anak, terjatuh dari motor. Kepala anak yang masih berumur setahun itu berlumur darah. Astrid meminggirkan motor. Berlari ke arah mereka dan dari tas dia mengeluarkan peralatan medis dan segera bekerja memberikan pertolongan pertama. Perempuan berjilbab itu seorang perawat.
Segera setelah memberi pertolongan dia mengantar ibu dan bocah itu ke klinik terdekat. Motor diurus orang-orang. Di Unit Gawat Darurat (UGD), dia menulis hubungan kekerabatan dengan; ‘tidak mengenalnya’. Astrid memang tidak mengenal ibu dan bocah yang merupakan seorang pendeta di kota kecil itu. Kenapa Astrid menolongnya? “ Saya cuma merasa harus menolongnya,” katanya.
Berbeda cerita dengan Antonius Mebe. Katolik taat asal Adonara NTT ini baru menyelesaikan studi Islamologi di Kairo Mesir dan memiliki sahabat beragama Islam cukup banyak. Beberapa saat ketika di Kairo dia tinggal satu flat dengan dua muslim dan satu kristen. “Tak ada masalah. Kami sering berdiskusi soal agama dengan teman satu flat atau kelompok pengajian mereka,” kata Antonius.
Pernahkah Antonius mendengar pembakaran gereja di Indonesia ketika dia di Kairo? “Pernah. Perih sekali mendengar gereja kami dibakar,” katanya. Gereja St. Albertus di Bekasi adalah gereja tempat Antonius berbakti ketika di Jakarta. “Kami sering mendiskusikannya ketika di Mesir. Tapi mereka muslim yang dewasa. Mereka paham bahwa pembakaran itu tak baik, “ kata Antonius lagi. “Semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika. Tapi ironinya kenapa para pemimpin negeri ini lebih banyak berdiam diri menyaksikan sekian kekerasan dan kerusuhan diantara kehidupan beragama,” katanya.
“ Bangsa lain berlomba-lomba keluar dari penjara primordialisme, kita masih begini-begini saja. Ujung-ujungnya duit,” simpulnya dengan wajah memelas.
“Yang mengherankan hati saya ialah kasus-kasus penyerangan terhadap gereja itu selalu terjadi berulang-ulang. Solusinya tidak jelas. Yang terakhir ada kyai, pendeta dan pastor yang berkumpul di kantor polisi, lalu berdamai,” papar Antonius.
Hampir Setiap Tahun
Hampir setiap tahun, media massa memberitakan aksi-aksi kekerasan terhadap sesama yang berlainan agama, mulai dari soal larangan pengenaan simbol-simbol agama (jilbab, salib, rosario) di sekolah hingga penolakan izin membangun rumah ibadah atau hanya hasutan soal SARA (Suku, Agama, Ras). Walau tak sulit bagi kepolisian mengungkap kasus-kasus itu, tetapi motif-motif pelanggaran tersebut selalu terulang. Bukan rahasia lagi, jualan ‘provokasi antar umat beragama’ di Indonesia lebih cepat ‘laku dijual’ kepada massa. Massa kemudian menerimanya dan bertindak anarki. Kasus Temanggung contohnya. Tiga gereja dibakar karena tak puas atas putusan pengadilan terhadap terdakwa yang dianggap menyebarkan hasutan kepada masyarakat. Peristiwa itu menimbulkan keprihatinan.
“Peristiwa di Banten (Cikeusik) dan pembakaran gereja di Temanggung mengundang keprihatinan bagi bangsa. Ini yang harus diwaspadai dan menjadi pelajaran bagi umat manusia untuk terus menjaga kerukunan,“ kata Wakil Ketua Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).
Menurutnya, jika mau belajar dari sejarah Nabi Muhammad, peristiwa kekerasan di Banten dan Temanggung itu tak seharusnya terjadi. Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, membuka pidato menggunakan kalimat: “hai umat manusia”, bukan “hai umat Islam”. Saat itu menurut Gus Yusuf, Nabi Muhammad menghormati orang-orang non muslim yang ada di Madinah. “Sebagai ungkapan cinta kepada semua umat manusia, bukan hanya umat Islam. Nabi Muhammad juga pernah mengatakan, barang siapa menyakiti saudara-saudara non muslim, sama saja menyakitinya. Merusak tempat ibadah mereka, lanjut dia, sama saja merusak rumah Nabi,“ kata Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang itu.
Mengutip teori Sigmund Freud, kekerasan yang berdarah-darah sekalipun hanyalah puncak dari sebuah gunung es yang besar. Rasa kebencian yang disulut oleh prasangka terhadap sesama ‘yang berbeda’ (Kristen, Cina, non Jawa, Indonesia Timur) yang tertanam dalam bawah sadar kolektif, itulah yang selalu menjadi sumber masalah terdalam masyarakat kita. Padahal masyarakat harus hidup dengan banyak perbedaan. Ibarat benda, negara kita seperti pelangi. Ada Islam, Kristen, Budha, Katolik, Hindu dan Kong Hu Chu. Islam pun ada syiah dan sunni. Di Budha ada Buddhayana, Theravada dan Mahayana. Satu ras bisa berbeda agama dan suku. Kebermacaman ini adalah anugerah.
Namun seringkali, dengan sedikit luka dalam wujud kasus kecil saja, segera disusul tindak kekerasan massal, toleransi pun terlupakan. “Di permukaan, tampaknya kita kompak dan damai. Ini sebuah kesemuan jati diri. Seharusnya kita membangun kebersamaan ini dalam kecerdasan, bukan dalam perasaan emosionalitas,” kata psikiater Limas Sutanto.
Menurut Romo Benny Susetyo Pr, persoalan pembakaran gereja terlihat bukan semata-mata masalah internal, tetapi ada masalah lain. “Menariknya, banyak kejadian terjadi menjelang Natal. Maka ada kepentingan-kepentingan kapital yang ikut bermain di dalamnya. Sekarang kita harus melihat, bukankah ini sebuah provokasi yang dibayar? Jadi ini nggak murni agama. Yang bikin rusuh itu bukan orang setempat kok,” kata Sekretaris Eksekutif Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ini.
Lemahnya Penegakan Hukum
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia, memperlihatkan relasi timpang antara warga negara dan negara. Menurut sosiolog Dr Ignas Kleden, pada tataran akademik, kajian seputar teori hubungan warga negara dan negara memang kurang banyak dikaji. “Padahal, ini sebuah masalah yang selalu muncul ke permukaan. Kerusuhan di Ambon yang berlarut-larut misalnya, adalah wajah lemah negara memperhatikan warga negaranya.” ujarnya.
Romo Benny mengemukakan pendapat, bahwa bila negara terus membiarkan kekerasan seperti ini, boleh dikata, negara melanggar prinsip yang dibangunnya sendiri. Ironi memang. “Inilah yang dilawan alm. Gus Dur. Bila seorang presiden tidak berani mengecam kekerasan, berarti presiden tidak menghormati konstitusi. Alm Gus Dur adalah orang yang setia pada konstitusi. Setiap kekerasan terhadap agama adalah penghinaan terhadap konstitusi,” ujarnya.
“Kalau negara terus-menerus tidak bertindak, maka konstitusi terus-menerus dilanggar. Menghormati konstitusi berarti menghormati hak setiap warga negara untuk menjalankan agamanya secara bebas. Ketika negara tidak memberi jaminan kepada warganya, itu sebuah pelanggaran konstitusional. Menjaga konstitusi itu lebih penting” tegasnya.
“Pada kasus gereja di Purwakarta dan Bandung, kita menempuh jalur hukum. Ketika izinnya dicabut, artinya pelanggaran terhadap Perber (peraturan bersama) dan konsitusi negara. Semua persyaratan sudah dipenuhi kok. Kalau orang luar membuat protes, kan kita tidak bisa membatalkan itu,” tambah Benny.
Jadi, seorang Astrid mungkin lebih arif dalam menterjemahkan toleransi atau menghargai sebuah konstitusi dari sekian banyak orang di negeri pelangi ini. Astrid memakai takaran hati nurani. Ketika dia melihat ibu pendeta dan anaknya jatuh dan luka-luka. Dia menolong, karena dirinya merasa harus berbuat sesuatu. Tanpa perlu bertanya terlebih dahulu, ‘agama ibu dan anak itu apa?’ (Indah)
Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36990

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar