Rabu, 03 Agustus 2011

Keluarga Puang Mengkendek Mengadu ke Polisi Lahan Bandara Kembali Bermasalah

Rabu, 03 Aug 2011,Palopo Pos,
Keluarga Puang Mengkendek Mengadu ke Polisi
Lahan Bandara Kembali Bermasalah


MAKALE-- Proses ganti rugi lahan bandara Buntu Kunyi kecamatan Mengkendek yang awalnya berjalan lancar kini menuai masalah. Penyebabnya, ada warga yang bukan pemilik lahan menerima uang ganti rugi dari pemerintah. Pemilik lahan yang sah, yakni keluarga Puang Mengkendek mengajukan keberatan. Bahkan mereka sudah mengadukan hal ini ke Polres Tana Toraja.
Menurut informasi yang dihimpun Palopo Pos, laporan ke polisi dilakukan oleh salah satu anggota keluarga Puang Mengkendek, Palagian Rante Allo dengan isi pengaduan penyerobotan tanah yang diduga dilakukan oleh terlapor Mathius Tondok. Nomor laporan polisinya LP/208/VIII/2011/Polda Sulsel/Rest Tator tanggal 2 Agustus 2011.
Sebelumnya, pada pagi hari kemarin, belasan keluarga Puang Mengkendek memasang papan peringatan yang bertuliskan bahwa beberapa bagian lahan di lokasi pembangunan bandara di Buntu Kunyi merupakan milik keluarga Puang Sesa Bone, Puang Mengkendek. Pemasangan plang ini bertujuan agar pemerintah tidak melakukan kegiatan pembangunan di atas tanah yang masih bermasalah itu.
Dalam keterangan pers kepada wartawan di lokasi sengketa, kemarin, penasehat hukum keluarga Puang Mengkendek, Antonius Tulak menyatakan luas tanah milik Puang Mengkendek yang masuk lokasi bandara sekitar 30 hektar. Tanah ini, kata Antonius, tidak masuk dalam lokasi bandara, namun belakangan pemerintah daerah menetapkan tanah itu masuk lokasi bandara. Sayangnya lagi, kata Antonius, pemerintah tidak memberitahukan hal itu kepada keluarga Puang Mengkendek, tetapi kepada warga lain, yang bukan pemilik sah atas lahan tersebut.
Dijelaskan Antonius, lokasi yang dipersoalkan keluarga Puang Mengkendek bernama Lombok Pitu Buntu atau tujuh gunung tujuh lembah dengan luas secara keseluruhan sekitar 270 hektar berada di kampong Buasan, lembang Simbuang, kecamatan Mengkendek. Namun yang masuk ke dalam lokasi pembangunan bandara hanya sekitar 30 hektar. Menurut riwayat, tanah ini mulanya dimiliki oleh Puang Sesa Bone. Puang Sesa Bone kemudian menikah dengan Puang Lai’ Randanan dan melahirkan Puang Mengkendek.
Menurut Antonius, ada sekitar 53 orang warga yang mengklaim tanah seluas 30 hektar yang masuk dalam lokasi bandara. Dari 53 orang itu, sebelas orang diantaranya sudah menerima ganti rugi dari pemerintah kabupaten Tana Toraja dengan nilai total sekitar Rp 3 milyar. Sementara nilai total ganti rugi tanah milik Puang Mengkendek ini diperkirakan sebesar Rp 6 milyar.
“Waktu desain pertama, lokasi Lombok Pitu Buntu itu tidak masuk dalam proyek bandara. Tetapi terakhir klien kami baru tahu bahwa ada sebagian tanah mereka yang masuk dalam lokasi bandara,” jelas Antonius.
Antonius menyesalkan sikap pemerintah yang tidak menghubungi atau mengundang kliennya saat pembicaraan mengenai ganti rugi lahan. “Baru belakangan kita tahu sehingga kita pasang papan peringatan di sana,” tandas Antonius.
Sementara itu, salah satu anggota keluarga Puang Mengkendek, Alex Tangkelembang menyatakan, 53 warga yang mengklaim tanah di lokasi Lombok Pitu Buntu itu bukan warga atau keturunan Puang Mengkendek. “Mereka hanya penggarap dan diberi kesempatan untuk menjaga tanah itu. Mereka tidak punya hak untuk menjualnya,” tandas Alex.
Alex mengatakan sebelum masalah ini selesai, pihaknya tidak akan mengijinkan proses pembangunan bandara berlangsung. “Ini masalah harga diri, sebelum masalah ini selesai jangan dulu membangun di tempat itu,” tandas Alex.
Menurut Antonius Tulak, masalah yang dipersoalkan keluarga Puang Mengkendek sebenarnya cukup simpel. “Ganti rugi harus dibayarkan kepada pemilik yang sebenarnya, yakni keluarga Puang Sesa Bone atau Puang Mengkendek. Itu saja. Kalau tidak diselesaikan secara baik-baik kami akan bawa masalah ini ke rana hukum,” tegas Antonius.
Dikatakan, diangkatnya masalah ini ke permukaan bukan dengan tujuan menghambat pembangunan bandara. Keluarga Puang Mengkendek, kata Antonius, sangat mendukung pembangunan bandara karena hal itu untuk kepentingan orang banyak. Keluarga juga tidak keberatan tanah milik mereka dijadikan lokasi bandara. “Tetapi hak-hak klien kami jangan diambaikan,” ujar Antonius. (mg3/ikh/t)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar