PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : P.22/Menhut-II/2012
TENTANG
PEDOMAN KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN
WISATA ALAM PADA HUTAN LINDUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 25 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfataan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
5.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
8.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN WISATA ALAM PADA HUTAN LINDUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan:
1.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengendalian erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
2.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.
3.
Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah keseluruhan kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan sarana dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan/pengunjung dalam pelaksanaan kegiatan wisata alam, mencakup usaha obyek dan daya tarik, penyediaan jasa, usaha sarana, serta usaha lain yang terkait dengan wisata alam.
4.
Wisata Alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan hutan lindung.
5.
Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Lindung yang selanjutnya disebut IUPJLWA adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan wisata alam pada hutan lindung berupa Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJLWA-PJWA) dan Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPJLWA-PSWA).
6.
Blok Pemanfaatan adalah bagian dari kawasan hutan lindung yang dijadikan tempat kegiatan wisata alam dan kunjungan wisata.
7.
Rencana Pengelolaan hutan adalah suatu rencana makro yang bersifat indikatif strategis, kualitatif, dan kuantitatif serta disusun dengan memperhatikan partisipasi, aspirasi, budaya masyarakat, kondisi lingkungan dan rencana pembangunan daerah/wilayah dalam rangka pengelolaan hutan lindung.
8.
Rencana Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah suatu rencana kegiatan untuk mencapai tujuan usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang dibuat oleh pengusaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang didasarkan pada rencana pengelolaan hutan lindung.
9.
Areal Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah areal dengan luas tertentu pada hutan lindung yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam.
10.
Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam yang selanjutnya disebut IIUPJLWA adalah pungutan terhadap izin yang diberikan untuk melakukan usaha komersial pada usaha penyediaan jasa dan/atau sarana wisata alam di hutan lindung kepada perorangan, badan usaha atau koperasi yang dikenakan sekali sebelum izin terbit.
11.
Pungutan Hasil Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam yang selanjutnya disebut PHUPJLWA adalah pungutan yang dikenakan secara periodik terhadap pemegang izin atas usaha yang dilakukan dan besarnya ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan.
12.
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD atau Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disebut KPH yang membidangi kehutanan setempat adalah instansi yang diberi tugas menangani bidang kehutanan di Provinsi atau Kabupaten/Kota.
13.
Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam.
BAB II
USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN WISATA ALAM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1)
Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam meliputi :
a.
areal usaha; atau
b.
jenis usaha.
(2)
Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan sesuai dengan desain tapak pengelolaan jasa lingkungan wisata alam dan rencana pengelolaan.
(3)
Desain tapak pengelolaan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat dan disahkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai desain tapak dan rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Areal Usaha
Pasal 3
(1)
Areal usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilaksanakan dalam blok pemanfaatan pada hutan lindung.
(2)
Luas areal yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam pada hutan lindung paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari luas blok pemanfaatan hutan lindung.
Bagian Ketiga
Jenis Usaha
Pasal 4
Jenis usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b meliputi :
a.
usaha penyediaan jasa wisata alam; atau
b.
usaha penyediaan sarana wisata alam.
Pasal 5
Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri dari :
a.
jasa informasi pariwisata;
b.
jasa pramuwisata;
c.
jasa transportasi;
d.
jasa perjalanan wisata;
e.
jasa cinderamata; dan/atau
f.
jasa makanan dan minuman.
Pasal 6
(1)
Usaha jasa informasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dapat berupa usaha penyediaan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
(2)
Usaha jasa pramuwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dapat berupa usaha yang penyediaan dan/atau mengkoordinasikan tenaga pemandu wisata atau interpreter untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata.
(3)
Usaha penyediaan jasa transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dapat berupa usaha penyediaan kuda, gajah, porter, perahu tidak bermesin, sepeda dan kendaraan darat bermesin maksimal 3000 (tiga ribu) cc khusus untuk daerah dengan kelerengan 30 % (tiga puluh per seratus).
(4)
Usaha jasa perjalanan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dapat berupa usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan wisata dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk jasa pelayanan yang menggunakan sarana yang dibangun berdasarkan kerjasama antara pengelola dan pihak ketiga.
(5)
Usaha jasa cinderamata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, merupakan usaha jasa penyediaan cinderamata atau souvenir untuk keperluan wisatawan yang didukung dengan perlengkapan berupa kios atau kedai usaha.
(6)
Usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f, merupakan usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang didukung dengan perlengkapan berupa kedai makanan/minuman.
(7)
Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat difasilitasi oleh SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
Pasal 7
Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, terdiri dari :
a.
wisata tirta;
b.
akomodasi;
c.
transportasi; dan/atau
d.
wisata petualangan.
Pasal 8
(1)
Jenis usaha penyediaan sarana wisata tirta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, dapat berupa pemandian, arung jeram dan kendaraan air, boat, penyelaman, snorkeling, jet ski, surfing, perahu layar, kano, dan aquarium.
(2)
Jenis usaha penyediaan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, dapat berupa penginapan, bumi perkemahan, dan rumah mobil (caravan).
(3)
Jenis usaha penyediaan sarana transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat berupa kereta listrik, kereta kabel/skyline, perahu bermesin, dan kereta kuda.
(4)
Jenis usaha penyediaan sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, dapat berupa pembuatan jembatan antar tajuk pohon (canopy trail), kabel luncur (flying fox), balon udara, dan paralayang.
BAB III
PEMBERIAN IZIN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1)
Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan dalam bentuk:
a.
izin usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam-Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJLWA-PJWA); dan/atau
b.
izin usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam-Penyedia sarana Wisata Alam (IUPJLWA-PSWA).
(2)
IUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:
a.
kepala SKPD/KPH sesuai dengan kewenangannya untuk usaha penyediaan jasa wisata alam;
b.
gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.
(3)
IUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pada kawasan hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan/pemungutan hasil hutan/penggunaan kawasan hutan.
Bagian Kedua
Pemberian IUPJLWA-PJWA
Pasal 10
(1)
IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a diajukan oleh:
a.
perorangan;
b.
badan usaha terdiri atas badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta; atau
c.
koperasi.
(2)
Permohonan IUPJLWA-PJWA untuk lokasi yang berada di lintas kabupaten/kota diajukan oleh pemohon kepada Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan provinsi dengan tembusan Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan provinsi.
(3)
Permohonan IUPJLWA-PJWA untuk lokasi yang berada di dalam 1 (satu) kabupaten/kota diajukan oleh pemohon kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan kabupaten/kota dengan tembusan kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan kabupaten/kota.
(4)
Permohonan untuk perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi dengan persyaratan administrasi meliputi :
a.
kartu tanda penduduk;
b.
nomor pokok wajib pajak;
c.
sertifikasi keahlian untuk jasa interpreter; dan
d.
rekomendasi dari forum/paguyuban yang diakui oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk bidang usaha jasa yang dimohon.
(5)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta atau koperasi dilengkapi persyaratan administrasi meliputi :
a.
akte pendirian badan usaha atau koperasi dan perubahannya;
b.
surat izin usaha perdagangan;
c.
nomor pokok wajib pajak;
d.
surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e.
profil perusahaan; dan
f.
rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.
Pasal 11
(1)
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5).
(2)
Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(3)
Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPJLWA-PJWA (SPP-IUPJLWA-PJWA) kepada pemohon.
(4)
SPP-IIUPJWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilunasi pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya SPP-IIUPJWA.
(5)
Berdasarkan bukti pembayaran SPP-IIUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja menerbitkan IUPJWA-PJWA.
Bagian Ketiga
Pemberian IUPJLWA-PSWA
Pasal 12
(1)
IUPJLWA–PSWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dapat diajukan oleh :
a.
badan usaha, terdiri atas badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,badan usaha milik swasta; atau
b.
koperasi.
(2)
Permohonan IUPJLWA–PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lintas kabupaten, diajukan oleh pemohon kepada gubernur dengan tembusan :
a.
kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan provinsi.
b.
kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan provinsi.
c.
kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(3)
Permohonan IUPJLWA–PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk lokasi yang berada di dalam 1 (satu) kabupaten/kota, diajukan oleh pemohon kepada bupati/walikota dengan tembusan :
a.
kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan kabupaten/kota;
b.
kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan kabupaten/kota;
c.
kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(4)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan teknis.
(5)
Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terdiri atas :
a.
akte pendirian badan usaha atau koperasi dan perubahannya;
b.
surat izin usaha perdagangan;
c.
nomor pokok wajib pajak;
d.
surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e.
profil perusahaan; dan
f.
proposal/rencana kegiatan usaha sarana yang akan dilakukan.
(6)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berupa pertimbangan teknis dari :
a.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan di provinsi atau kabupaten/kota;
b.
Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di provinsi atau kabupaten/kota; dan
c.
Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(7)
Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberikan selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(8)
Dalam hal waktu pemberian pertimbangan teknis dari kepala Balai Besar/kepala balai Konservasi Sumber daya Alam/Kepala SKPD yang membidangi kepawisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat melebihi 30 (tiga puluh) hari kerja, maka permohonan pengajuan IUPJLWA-PSWA dapat dilanjutkan dengan tanpa pertimbangan teknis.
Pasal 13
(1)
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, gubernur atau bupati/walikota menugaskan kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan, untuk melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6).
(2)
Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan, selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(3)
Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja menyampaikan hasil penilaian kepada gubernur atau bupati/walikota.
(4)
Gubernur atau bupati/walikota selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menerbitkan persetujuan prinsip IUPJLWA–PSWA.
(5)
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota.
Pasal 14
(1)
Berdasarkan pesetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), pemohon wajib :
a.
membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan dengan skala paling kecil 1 : 25.000 (satu banding dua puluh lima ribu) yang dilengkapi dengan koordinat geografis yang diketahui oleh Kepala Dinas/SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat;
b.
membuat rencana pengusahaan pariwisata alam;
c.
melakukan pemberian tata batas yang disupervisi oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan provinsi atau kabupaten/kota setempat pada areal yang dimohon;
d.
menyusun dan menyampaikan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan; dan
e.
membayar IIUPJLWA-PSWA sesuai peraturan perundang-undangan.
(2)
Dalam penilaian rencana pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, dapat dilakukan peninjauan lapangan atau pembahasan dengan instansi terkait.
(3)
Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dibebankan pada pemohon.
(4)
IIUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dihitung berdasarkan luas areal yang akan diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.
Pasal 15
(1)
Bagi pemegang persetujuan prinsip yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan IUPJLWA–PSWA.
(2)
Dalam hal pemegang persetujuan prinsip belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dalam waktu 1 (satu) tahun, maka persetujuan prinsip batal.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK PEMEGANG IZIN
Bagian Kesatu
Kewajiban Pemegang Izin
Pasal 16
(1)
Berdasarkan izin yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5), pemegang IUPJLWA-PJWA mempunyai kewajiban:
a.
membayar pungutan hasil usaha penyediaan jasa wisata alam kecuali bagi perorangan;
b.
menjaga kelestarian fungsi hutan;
c.
melaksanakan pengamanan terhadap kawasan beserta potensinya bagi setiap pengunjung yang menggunakan jasanya;
d.
menjaga kebersihan lingkungan;
e.
merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan kegiatan usahanya, kecuali bagi perorangan;
f.
menyampaikan laporan kegiatan usahanya kepada pemberi IUPJWA, kecuali bagi perorangan.
(2)
Berdasarkan izin yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), pemegang IUPJLWA-PSWA mempunyai kewajiban:
a.
merealisasikan kegiatan pembangunan sarana wisata alam paling lambat 6 (enam) bulan setelah izin usaha penyediaan sarana wisata alam diterbitkan;
b.
menjaga kelestarian fungsi hutan;
c.
membayar PHUPJLWA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
melaksanakan pengamanan kawasan dan potensinya serta pengamanan pengunjung pada areal izin usaha penyediaan sarana wisata alam bekerja sama dengan pengelola kawasan;
e.
menjaga kebersihan lingkungan tempat usaha termasuk pengelolaan limbah dan sampah;
f.
merehabilitasi kerusakan yang terjadi akibat kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam;
g.
memberi akses kepada petugas pemerintah yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan, pengawasan, evaluasi dan pembinaan kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam;
h.
memelihara aset negara bagi pemegang izin yang memanfaatkan sarana milik pemerintah;
i.
melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan pariwisata alam, serta masyarakat setempat di dalam melaksanakan kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam sesuai izin yang diberikan;
j.
membuat laporan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam secara periodik kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
k.
menyusun dan menyerahkan rencana karya lima tahunan dan rencana karya tahunan.
(3)
Tata cara pembayaran IIUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e serta PHUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Terhadap pemegang IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), berlaku ketentuan:
a.
izin usaha bukan sebagai hak kepemilikan atau penguasaan atas kawasan hutan lindung;
b.
izin usaha tidak dapat dijadikan jaminan atau agunan;
c.
izin usaha hanya dapat dipindahtangankan atas persetujuan tertulis dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
d.
tidak diperbolehkan merubah status badan usaha sebelum mendapat persetujuan tertulis dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.
Bagian Kedua
Hak Pemegang Izin
Pasal 18
Pemegang IUPJLWA berhak :
a.
melakukan kegiatan usaha sesuai izin;
b.
menjadi anggota asosiasi pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam;
c.
mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d.
memanfaatkan fasilitas pariwisata alam yang menjadi aset negara.
BAB V
JANGKA WAKTU, PERPANJANGAN DAN BERAKHIRNYA IZIN
Bagian Kesatu
Jangka Waktu dan Perpanjangan Izin
Pasal 19
(1)
IUPJLWA–PJWA diberikan untuk jangka waktu :
a.
2 (dua) tahun bagi pemohon perorangan; dan
b.
5 (lima) tahun badan usaha atau koperasi.
(2)
IUPJLWA–PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(3)
IUPJLWA–PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(4)
Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi kegiatan.
Pasal 20
(1) IUPJLWA-PSWA diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun.
(2) IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(3)
Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi kegiatan.
Bagian Kedua
Berakhirnya Izin
Pasal 21
(1)
IUPJLWA berakhir apabila :
a.
jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
b.
izinnya dicabut;
c.
pemegang izin mengembalikan izin secara sukarela;
d.
badan usaha atau koperasi sebagai pemegang izin bubar;
e.
badan usaha pemegang izin dinyatakan pailit; atau
f.
pemegang izin perorangan meninggal dunia.
(2)
Berakhirnya IUPJLWA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban pemegang izin untuk :
a.
melunasi kewajiban pungutan negara lainnya;
b.
melaksanakan semua ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya izin usaha.
Bagian Ketiga
Tata Cara Perpanjangan Izin
Pasal 22
(1)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PJWA disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya izin untuk perorangan atau 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya izin untuk badan usaha atau koperasi.
(2)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk perorangan, badan usaha atau koperasi dapat diajukan kepada :
a.
kepala SKPD/KPH provinsi yang membidangi kehutanan dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); atau
b.
kepala SKPD/KPH kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3).
(3)
Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dilengkapi dengan persyaratan :
a.
rencana kegiatan usaha jasa lanjutan, badan usaha atau koperasi; dan
b.
hasil evaluasi dari pengelola kawasan.
(4)
Tata cara permohonan perpanjangan dan pemberian IUPJLWA-PJWA sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(5)
Pemegang IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dibebani kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
Pasal 23
(1)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PSWA disampaikan oleh pemohon dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin.
(2)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PSWA disampaikan kepada :
a.
gubernur, untuk lokasi yang berada lintas kabupaten/kota dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
b.
bupati/walikota, untuk lokasi yang berada pada 1 (satu) kabupaten/kota dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(3)
Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain harus dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6), juga dilengkapi dengan persyaratan tambahan :
a.
laporan akhir kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam;
b.
rencana pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam lanjutan;
c.
bukti pembayaran pungutan hasil usaha penyediaan sarana wisata alam; dan
d.
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik pada 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin.
(4)
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi pemohon, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan dalam waktu 5 (lima) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPJLWA-PSWA (SPP-IIUPJLWA-PSWA).
(5)
SPP-IIUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilunasi selambat-lambatnya dalam waktu 24 (dua puluh empat) hari kerja setelah diterimanya SPP-IIUPJLWA-PSWA.
(6)
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dipenuhi pemohon, gubernur atau bupati/walikota menerbitkan IUPJLWA-PSWA.
(7)
Pemegang IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dibebani kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
BAB VI
PEMBANGUNAN SARANA
Pasal 24
(1)
Luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling banyak 10 % (sepuluh per seratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin.
(2)
Bentuk bangunan sarana wisata alam untuk sarana wisata tirta dan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, dibangun semi permanen dan bentuknya disesuaikan dengan arsitektur budaya setempat.
(3)
Bentuk bangunan sarana bergaya arsitektur budaya setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan :
a.
ukuran, panjang, lebar dan tinggi bangunan/sarana disesuaikan dengan perbandingan/proporsi untuk setiap bentuk arsitektur daerah/lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan tersebut;
b.
pembangunan sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua) lantai bagi sarana akomodasi dengan kelerengan 0-15 % dan/atau 1 (satu) lantai untuk kemiringan > 15 % - 30 %;
c.
tidak merubah karakteristik bentang alam atau menghilangkan fungsi utamanya;
d.
tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan
e.
jarak bangunan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari kiri kanan sungai/mata air/danau.
Pasal 25
(1)
Pembangunan sarana untuk menunjang fasilitas sarana wisata tirta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, antara lain meliputi permandian alam, tempat pertemuan/pusat informasi, gudang penyimpanan alat untuk kegiatan wisata tirta, tempat sandar/tempat berlabuh alat transportasi wisata tirta.
(2)
Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan pada kelerengan 0 – 30 %, antara lain meliputi:
a.
penginapan/pondok wisata/pondok apung/rumah pohon;
b.
bumi perkemahan;
c.
tempat singgah karavan;
d.
fasilitas akomodasi; dan
e.
fasilitas pelayanan umum dan kantor.
(3)
Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d antara lain meliputi:
a.
ruang pertemuan;
b.
ruang makan dan minum;
c.
fasilitas untuk bermain anak;
d.
spa; dan
e.
gudang.
(4)
Fasilitas pelayanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e antara lain meliputi fasilitas :
a.
pelayanan informasi;
b.
pelayanan telekomunikasi;
c.
pelayanan administrasi;
d.
pelayanan angkutan;
e.
pelayanan penukaran uang;
f.
pelayanan cucian;
g.
ibadah;
h.
pelayanan kesehatan;
i.
keamanan antara lain menara pandang, pemadam kebakaran;
j.
pelayanan kebersihan; dan
k.
mess karyawan.
(5)
Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan pada kelerengan 0 – 30 %, sedangkan untuk ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan pada kelerengan 0 – 15 %.
(6)
Penyediaan sarana transportasi sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf c meliputi antara lain kereta listrik, kereta kabel/skyline, perahu bermesin, dan kereta kuda.
(7)
Sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d antara lain berupa:
a.
outbond;
b.
jembatan antar tajuk pohon (canopy trail);
c.
kabel luncur (flying fox);
d.
balon udara;
e.
paralayang; dan
f.
jalan lintas (jungle track).
Pasal 26
Selain sarana wisata alam yang dibangun sebagaimana dimaksud pada Pasal 25, dapat dibangun juga fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan antara lain berupa:
a.
jalan wisata;
b.
papan petunjuk;
c.
jembatan;
d.
areal parkir;
e.
jaringan listrik;
f.
jaringan air bersih;
g.
jaringan telepon;
h.
jaringan internet;
i.
jaringan drainase/saluran;
j.
toilet;
k.
sistem pembuangan limbah;
l.
dermaga; dan
m.
helipad.
Pasal 27
(1)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jalan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a meliputi :
a.
jalan dengan lebar badan maksimal 5 (lima) meter ditambah bahu jalan 1 (satu) meter kiri dan kanan, dengan sistem pengerasan menggunakan batu dan lapisan permukaan aspal.
b.
jalan kereta listrik dan/atau kereta gantung dengan sistem yang disesuaikan dengan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat.
(2)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa papan petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b yang dapat dibangun berupa:
a.
papan nama;
b.
papan informasi;
c.
papan petunjuk arah;
d.
papan larangan/peringatan;
e.
papan bina cinta alam; dan
f.
papan rambu lalu lintas.
(3)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jembatan, dermaga dan helipad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, huruf l dan huruf m dibangun berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang menyangkut keselamatan dan keamanan, dengan lokasi mengacu pada rencana pengelolaan.
(4)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa areal parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d dibangun dengan ketentuan :
a.
tidak menebang/merusak pohon;
b.
berada pada kelerengan 0 - 15%;
c.
dibangun diareal terluar lokasi IUPJLWA-PSWA; dan
d.
pengerasan areal harus dilakukan dengan konstruksi yang tidak mengganggu penyerapan air dalam tanah.
(5)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan listrik, air bersih telepon dan internet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h dibangun dengan ketentuan :
a.
diupayakan dibangun dalam tanah;
b.
pelaksanaan pembangunannya berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang menyangkut keselamatan dan keamanan.
(6)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan drainase/saluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf i dibangun dengan ketentuan :
a.
dibangun cara terbuka dan menggunakan pengerasan;
b.
dalam hal tidak memungkinkan dibangun dengan cara terbuka maka dapat dilakukan dengan sistem tertutup atau pengerasan dengan memperhatikan kaidah konservasi.
(7)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa sistem pembuangan dan pengolahan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf k terdiri atas :
a.
sistem pembuangan dan pengolahan limbah padat; atau
b.
sistem pembuangan dan pengolahan limbah cair.
Pasal 28
Bangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 harus memperhatikan :
a.
kaidah konservasi dan ramah lingkungan;
b.
sistem sanitasi yang memenuhi standar kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan;
c.
efisien dalam penggunaan lahan;
d.
memiliki teknologi pengolahan dan pembuangan limbah;
e.
konstruksi yang memenuhi persyaratan bagi keamanan dan keselamatan;
f.
hemat energi; dan
g.
berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang dan sesuai dengan rencana pengelolaan serta desain tapak.
Pasal 29
(1)
Bahan bangunan untuk pembangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diutamakan menggunakan bahan-bahan dari daerah setempat.
(2)
Dalam hal bahan bangunan tidak terdapat di daerah setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dipergunakan bahan bangunan dari luar daerah setempat yang tidak merusak kelestarian lingkungan.
(3)
Bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diambil dari kawasan hutan lindung.
BAB VII
PERALIHAN KEPEMILIKAN
Pasal 30
(1)
Sarana dan fasilitas kepariwisataan yang tidak bergerak pada izin yang telah berakhir kepemilikannya beralih menjadi milik daerah, kecuali bagi pemegang izin yang telah mendapat perpanjangan.
(2)
Terhadap sarana kepariwisataan yang tidak bergerak yang telah berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan inventarisasi oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangannya.
(3)Kegiatan.....
-17-
(3)
Kegiatan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk mengetahui antara lain jumlah, jenis, nilai teknis dan nilai ekonomis sarana dan fasilitas kepariwisataan.
Pasal 31
(1)
Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), sarana dan fasilitas kepariwisataan pada izin yang telah berakhir dialihkan kepemilikannya kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
(2)
Pengalihan kepemilikan sarana dan fasilitas kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Berita Acara Pengalihan Kepemilikan dari pemegang izin yang telah berakhir kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
(3)
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah penandatanganan Berita Acara Pengalihan Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.
(4)
Berdasarkan laporan dari Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melaporkan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja.
BAB VIII
KERJASAMA PARIWISATA ALAM
Pasal 32
(1)
Kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam dapat dilakukan antara:
a.
pengelola kawasan dengan pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA;
b.
pemegang IUPJLWA-PJWA dengan pemegang IUPJLWA-PSWA;
c.
pemegang IUPJLWA-PSWA dengan pemegang izin pemanfaatan/pemungutan/ penggunaan kawasan hutan;
d.
pengelola kawasan, pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA dengan pihak lain.
(2)
Kerjasama yang dilakukan oleh pemengang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA dilakukan dengan ketentuan:
a.
setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan bagi pemegang IUPJLWA-PJWA perorangan;
b.
setelah masa izin berjalan sekurang-kuranganya 2 (dua) tahun bagi pemegang IUPJLWA-PJWA badan usaha atau koperasi;
c.
setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi pemegang IUPJLWA-PSWA.
Pasal 33
(1)
Kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) antara lain meliputi :
a.
kerjasama teknis;
b.
kerjasama pemasaran;
c.
kerjasama permodalan;
d.
kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam.
(2)
Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi konsultasi teknis dan pembangunan sarana wisata alam.
(3)
Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa kerjasama membangun sarana penunjang pemanfaaatan jasa seperti antara lain kedai/kios, tempat sandar perahu, jalan setapak.
(4)
Kerjasama pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi promosi pariwisata melalui media massa, media elektronik, banner, baliho, pamflet.
(5)
Kerjasama permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi investasi di bidang pembangunan sarana pariwisata alam beserta penunjangnya.
(6)
Kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi penggunaan fasilitas jalan wisata di areal izin.
Pasal 34
(1)
Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang diketahui oleh gubernur atau bupati/walikota.
(2)
Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah hak pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA.
BAB IX
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN EVALUASI
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 35
(1)
Pembinaan terhadap pemengang IUPJLWA dilakukan oleh :
a.
Direktur Jenderal.
b.
Gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.
c.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan, bimbingan, penyuluhan, penghargaan dan teguran kepada pemegang izin.
(3)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setahun.
(4)
Hasil pembinaan sebagaimana dimaksud ayat (3) dijadikan bahan dalam menentukan kebijakan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 36
(1)
Pengawasan terhadap pemengang IUPJLWA dilakukan oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan yang meliputi:
a.
pemeriksaan langsung di lapangan;
b.
pemeriksaan kondisi sarana yang diusahakan; dan
c.
pemeriksaan laporan pemegang izin usaha.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a.
kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk kegiatan sarana pariwisata alam;
b.
kepala Seksi SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk kegiatan jasa wisata alam.
(3)
Dalam rangka pengawasan kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat dapat bekerjasama dengan lembaga pengawas independent yang terakreditasi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan oleh lembaga pengawas independent yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 37
(1) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), dilaporkan kepada:
a.
Gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan untuk kegiatan sarana wisata alam.
b.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan.
(3)
Tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai dasar pemberian sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Evaluasi
Pasal 38
(1)
Evaluasi terhadap pemengang IUPJLWA dilaksanakan oleh :
a.
Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat; dan
b.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangannya.
(2)
Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan langsung ke lokasi dan tidak langsung berdasarkan laporan kegiatan yang disusun oleh pemegang IUPJLWA-PJWA dan IUPJLWA-PSWA.
(3)
Dalam hal hasil evaluasi pengusahaan wisata alam menunjukkan kinerja baik, penghargaan dapat diberikan kepada pemegang izin berupa :
a.
prioritas pengembangan usaha di lokasi lain;
b.
sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri atau gubernur atau bupati/walikota;
c.
insentif berupa perpanjangan izin usaha yang dinyatakan atau diberitahukan kepada pemegang izin sebelum ketentuan tata waktu permohonan perpanjangan izin usaha diajukan.
(4)
Pemengang Izin UPJLWA yang mempunyai kinerja baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan ketentuan :
a.
tidak melakukan pelanggaran ketentuan perundangan yang berakibat pidana;
b.
tidak pernah mendapat peringatan yang berakibat pada dicabutnya izin usaha;
c.
keuntungan finansial yang diperoleh pemegang izin selama 5 (lima) tahun berturut-turut menunjukkan peningkatan yang signifikan.
(5)
Kegiatan evaluasi dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan hasil evaluasi dijadikan bahan melaksanakan pembinaan dan serta menentukan kebijakan.
BAB X
SANKSI
Pasal 39
(1)
Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2), dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
c. pencabutan izin.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, diberikan oleh Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan.
(4)
Sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, diberikan oleh pemberi izin.
Pasal 40
(1)
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a, dikenai kepada setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2).
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggat waktu masing-masing 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya peringatan.
(3) Dalam hal surat peringatan pertama tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan kedua.
(4) Dalam hal surat peringatan kedua tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan ketiga.
Pasal 41
Dalam hal surat peringatan pertama ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan berikutnya dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
Pasal 42
(1)
Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan ketiga dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
(2)
Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, maka diterbitkan surat peringatan ketiga.
Pasal 43
(1)
Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu dilakukan tindakan penghentian sementara kegiatan dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
(2) Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, maka pemberi izin menetapkan surat penghentian sementara kegiatan.
(3) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat waktu 20 (dua puluh) hari, maka pemberi izin menetapkan surat penghentian sementara kegiatan.
(4) Dalam hal pemegang izin dalam tenggat waktu 20 (dua puluh) hari sejak penghentian sementara kegiatan diterima tidak ada upaya klarifikasi kepada pemberi izin, pemberi izin menetapkan keputusan pencabutan izin.
(5) Dalam hal pemegang izin menyampaikan klarifikasi kepada pemegang izin dalam tenggat waktu 20 (dua puluh) hari dan substansinya diterima oleh pemberi izin, pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap melaksanakan kegiatan sebagai pemegang izin.
(6) Dalam hal penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya, maka pemegang izin dikenakan sanksi pencabutan izin.
Pasal 44
(1)
Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6), bagi pemegang izin yang kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan pada kawasan hutan lindung, dikenakan sanksi pidana dan kewajiban melakukan rehabilitasi serta pembayaran ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan.
(2)
Pengenaan kewajiban rehabilitasi dan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Besaran dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Kehutanan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Nomor : P.22/Menhut-II/2012
TENTANG
PEDOMAN KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN
WISATA ALAM PADA HUTAN LINDUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 25 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfataan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
5.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
8.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN WISATA ALAM PADA HUTAN LINDUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan:
1.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengendalian erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
2.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.
3.
Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah keseluruhan kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan sarana dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan/pengunjung dalam pelaksanaan kegiatan wisata alam, mencakup usaha obyek dan daya tarik, penyediaan jasa, usaha sarana, serta usaha lain yang terkait dengan wisata alam.
4.
Wisata Alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan hutan lindung.
5.
Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Lindung yang selanjutnya disebut IUPJLWA adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan wisata alam pada hutan lindung berupa Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJLWA-PJWA) dan Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPJLWA-PSWA).
6.
Blok Pemanfaatan adalah bagian dari kawasan hutan lindung yang dijadikan tempat kegiatan wisata alam dan kunjungan wisata.
7.
Rencana Pengelolaan hutan adalah suatu rencana makro yang bersifat indikatif strategis, kualitatif, dan kuantitatif serta disusun dengan memperhatikan partisipasi, aspirasi, budaya masyarakat, kondisi lingkungan dan rencana pembangunan daerah/wilayah dalam rangka pengelolaan hutan lindung.
8.
Rencana Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah suatu rencana kegiatan untuk mencapai tujuan usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang dibuat oleh pengusaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang didasarkan pada rencana pengelolaan hutan lindung.
9.
Areal Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah areal dengan luas tertentu pada hutan lindung yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam.
10.
Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam yang selanjutnya disebut IIUPJLWA adalah pungutan terhadap izin yang diberikan untuk melakukan usaha komersial pada usaha penyediaan jasa dan/atau sarana wisata alam di hutan lindung kepada perorangan, badan usaha atau koperasi yang dikenakan sekali sebelum izin terbit.
11.
Pungutan Hasil Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam yang selanjutnya disebut PHUPJLWA adalah pungutan yang dikenakan secara periodik terhadap pemegang izin atas usaha yang dilakukan dan besarnya ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan.
12.
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD atau Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disebut KPH yang membidangi kehutanan setempat adalah instansi yang diberi tugas menangani bidang kehutanan di Provinsi atau Kabupaten/Kota.
13.
Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam.
BAB II
USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN WISATA ALAM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1)
Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam meliputi :
a.
areal usaha; atau
b.
jenis usaha.
(2)
Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan sesuai dengan desain tapak pengelolaan jasa lingkungan wisata alam dan rencana pengelolaan.
(3)
Desain tapak pengelolaan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat dan disahkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai desain tapak dan rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Areal Usaha
Pasal 3
(1)
Areal usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilaksanakan dalam blok pemanfaatan pada hutan lindung.
(2)
Luas areal yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam pada hutan lindung paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari luas blok pemanfaatan hutan lindung.
Bagian Ketiga
Jenis Usaha
Pasal 4
Jenis usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b meliputi :
a.
usaha penyediaan jasa wisata alam; atau
b.
usaha penyediaan sarana wisata alam.
Pasal 5
Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri dari :
a.
jasa informasi pariwisata;
b.
jasa pramuwisata;
c.
jasa transportasi;
d.
jasa perjalanan wisata;
e.
jasa cinderamata; dan/atau
f.
jasa makanan dan minuman.
Pasal 6
(1)
Usaha jasa informasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dapat berupa usaha penyediaan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
(2)
Usaha jasa pramuwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dapat berupa usaha yang penyediaan dan/atau mengkoordinasikan tenaga pemandu wisata atau interpreter untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata.
(3)
Usaha penyediaan jasa transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dapat berupa usaha penyediaan kuda, gajah, porter, perahu tidak bermesin, sepeda dan kendaraan darat bermesin maksimal 3000 (tiga ribu) cc khusus untuk daerah dengan kelerengan 30 % (tiga puluh per seratus).
(4)
Usaha jasa perjalanan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dapat berupa usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan wisata dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk jasa pelayanan yang menggunakan sarana yang dibangun berdasarkan kerjasama antara pengelola dan pihak ketiga.
(5)
Usaha jasa cinderamata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, merupakan usaha jasa penyediaan cinderamata atau souvenir untuk keperluan wisatawan yang didukung dengan perlengkapan berupa kios atau kedai usaha.
(6)
Usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f, merupakan usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang didukung dengan perlengkapan berupa kedai makanan/minuman.
(7)
Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat difasilitasi oleh SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
Pasal 7
Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, terdiri dari :
a.
wisata tirta;
b.
akomodasi;
c.
transportasi; dan/atau
d.
wisata petualangan.
Pasal 8
(1)
Jenis usaha penyediaan sarana wisata tirta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, dapat berupa pemandian, arung jeram dan kendaraan air, boat, penyelaman, snorkeling, jet ski, surfing, perahu layar, kano, dan aquarium.
(2)
Jenis usaha penyediaan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, dapat berupa penginapan, bumi perkemahan, dan rumah mobil (caravan).
(3)
Jenis usaha penyediaan sarana transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat berupa kereta listrik, kereta kabel/skyline, perahu bermesin, dan kereta kuda.
(4)
Jenis usaha penyediaan sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d, dapat berupa pembuatan jembatan antar tajuk pohon (canopy trail), kabel luncur (flying fox), balon udara, dan paralayang.
BAB III
PEMBERIAN IZIN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1)
Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan dalam bentuk:
a.
izin usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam-Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJLWA-PJWA); dan/atau
b.
izin usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam-Penyedia sarana Wisata Alam (IUPJLWA-PSWA).
(2)
IUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:
a.
kepala SKPD/KPH sesuai dengan kewenangannya untuk usaha penyediaan jasa wisata alam;
b.
gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.
(3)
IUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pada kawasan hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan/pemungutan hasil hutan/penggunaan kawasan hutan.
Bagian Kedua
Pemberian IUPJLWA-PJWA
Pasal 10
(1)
IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a diajukan oleh:
a.
perorangan;
b.
badan usaha terdiri atas badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta; atau
c.
koperasi.
(2)
Permohonan IUPJLWA-PJWA untuk lokasi yang berada di lintas kabupaten/kota diajukan oleh pemohon kepada Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan provinsi dengan tembusan Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan provinsi.
(3)
Permohonan IUPJLWA-PJWA untuk lokasi yang berada di dalam 1 (satu) kabupaten/kota diajukan oleh pemohon kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan kabupaten/kota dengan tembusan kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan kabupaten/kota.
(4)
Permohonan untuk perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi dengan persyaratan administrasi meliputi :
a.
kartu tanda penduduk;
b.
nomor pokok wajib pajak;
c.
sertifikasi keahlian untuk jasa interpreter; dan
d.
rekomendasi dari forum/paguyuban yang diakui oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk bidang usaha jasa yang dimohon.
(5)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta atau koperasi dilengkapi persyaratan administrasi meliputi :
a.
akte pendirian badan usaha atau koperasi dan perubahannya;
b.
surat izin usaha perdagangan;
c.
nomor pokok wajib pajak;
d.
surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e.
profil perusahaan; dan
f.
rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.
Pasal 11
(1)
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5).
(2)
Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(3)
Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPJLWA-PJWA (SPP-IUPJLWA-PJWA) kepada pemohon.
(4)
SPP-IIUPJWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilunasi pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya SPP-IIUPJWA.
(5)
Berdasarkan bukti pembayaran SPP-IIUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja menerbitkan IUPJWA-PJWA.
Bagian Ketiga
Pemberian IUPJLWA-PSWA
Pasal 12
(1)
IUPJLWA–PSWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dapat diajukan oleh :
a.
badan usaha, terdiri atas badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,badan usaha milik swasta; atau
b.
koperasi.
(2)
Permohonan IUPJLWA–PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lintas kabupaten, diajukan oleh pemohon kepada gubernur dengan tembusan :
a.
kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan provinsi.
b.
kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan provinsi.
c.
kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(3)
Permohonan IUPJLWA–PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk lokasi yang berada di dalam 1 (satu) kabupaten/kota, diajukan oleh pemohon kepada bupati/walikota dengan tembusan :
a.
kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan kabupaten/kota;
b.
kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan kabupaten/kota;
c.
kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(4)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan teknis.
(5)
Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terdiri atas :
a.
akte pendirian badan usaha atau koperasi dan perubahannya;
b.
surat izin usaha perdagangan;
c.
nomor pokok wajib pajak;
d.
surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e.
profil perusahaan; dan
f.
proposal/rencana kegiatan usaha sarana yang akan dilakukan.
(6)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berupa pertimbangan teknis dari :
a.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan di provinsi atau kabupaten/kota;
b.
Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di provinsi atau kabupaten/kota; dan
c.
Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(7)
Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberikan selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(8)
Dalam hal waktu pemberian pertimbangan teknis dari kepala Balai Besar/kepala balai Konservasi Sumber daya Alam/Kepala SKPD yang membidangi kepawisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat melebihi 30 (tiga puluh) hari kerja, maka permohonan pengajuan IUPJLWA-PSWA dapat dilanjutkan dengan tanpa pertimbangan teknis.
Pasal 13
(1)
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, gubernur atau bupati/walikota menugaskan kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan, untuk melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6).
(2)
Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan, selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(3)
Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja menyampaikan hasil penilaian kepada gubernur atau bupati/walikota.
(4)
Gubernur atau bupati/walikota selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menerbitkan persetujuan prinsip IUPJLWA–PSWA.
(5)
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota.
Pasal 14
(1)
Berdasarkan pesetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), pemohon wajib :
a.
membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan dengan skala paling kecil 1 : 25.000 (satu banding dua puluh lima ribu) yang dilengkapi dengan koordinat geografis yang diketahui oleh Kepala Dinas/SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat;
b.
membuat rencana pengusahaan pariwisata alam;
c.
melakukan pemberian tata batas yang disupervisi oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan provinsi atau kabupaten/kota setempat pada areal yang dimohon;
d.
menyusun dan menyampaikan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan; dan
e.
membayar IIUPJLWA-PSWA sesuai peraturan perundang-undangan.
(2)
Dalam penilaian rencana pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b, dapat dilakukan peninjauan lapangan atau pembahasan dengan instansi terkait.
(3)
Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dibebankan pada pemohon.
(4)
IIUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dihitung berdasarkan luas areal yang akan diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.
Pasal 15
(1)
Bagi pemegang persetujuan prinsip yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan IUPJLWA–PSWA.
(2)
Dalam hal pemegang persetujuan prinsip belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dalam waktu 1 (satu) tahun, maka persetujuan prinsip batal.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK PEMEGANG IZIN
Bagian Kesatu
Kewajiban Pemegang Izin
Pasal 16
(1)
Berdasarkan izin yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5), pemegang IUPJLWA-PJWA mempunyai kewajiban:
a.
membayar pungutan hasil usaha penyediaan jasa wisata alam kecuali bagi perorangan;
b.
menjaga kelestarian fungsi hutan;
c.
melaksanakan pengamanan terhadap kawasan beserta potensinya bagi setiap pengunjung yang menggunakan jasanya;
d.
menjaga kebersihan lingkungan;
e.
merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan kegiatan usahanya, kecuali bagi perorangan;
f.
menyampaikan laporan kegiatan usahanya kepada pemberi IUPJWA, kecuali bagi perorangan.
(2)
Berdasarkan izin yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), pemegang IUPJLWA-PSWA mempunyai kewajiban:
a.
merealisasikan kegiatan pembangunan sarana wisata alam paling lambat 6 (enam) bulan setelah izin usaha penyediaan sarana wisata alam diterbitkan;
b.
menjaga kelestarian fungsi hutan;
c.
membayar PHUPJLWA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
melaksanakan pengamanan kawasan dan potensinya serta pengamanan pengunjung pada areal izin usaha penyediaan sarana wisata alam bekerja sama dengan pengelola kawasan;
e.
menjaga kebersihan lingkungan tempat usaha termasuk pengelolaan limbah dan sampah;
f.
merehabilitasi kerusakan yang terjadi akibat kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam;
g.
memberi akses kepada petugas pemerintah yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan, pengawasan, evaluasi dan pembinaan kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam;
h.
memelihara aset negara bagi pemegang izin yang memanfaatkan sarana milik pemerintah;
i.
melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan pariwisata alam, serta masyarakat setempat di dalam melaksanakan kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam sesuai izin yang diberikan;
j.
membuat laporan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam secara periodik kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
k.
menyusun dan menyerahkan rencana karya lima tahunan dan rencana karya tahunan.
(3)
Tata cara pembayaran IIUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e serta PHUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Terhadap pemegang IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), berlaku ketentuan:
a.
izin usaha bukan sebagai hak kepemilikan atau penguasaan atas kawasan hutan lindung;
b.
izin usaha tidak dapat dijadikan jaminan atau agunan;
c.
izin usaha hanya dapat dipindahtangankan atas persetujuan tertulis dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;
d.
tidak diperbolehkan merubah status badan usaha sebelum mendapat persetujuan tertulis dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.
Bagian Kedua
Hak Pemegang Izin
Pasal 18
Pemegang IUPJLWA berhak :
a.
melakukan kegiatan usaha sesuai izin;
b.
menjadi anggota asosiasi pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam;
c.
mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d.
memanfaatkan fasilitas pariwisata alam yang menjadi aset negara.
BAB V
JANGKA WAKTU, PERPANJANGAN DAN BERAKHIRNYA IZIN
Bagian Kesatu
Jangka Waktu dan Perpanjangan Izin
Pasal 19
(1)
IUPJLWA–PJWA diberikan untuk jangka waktu :
a.
2 (dua) tahun bagi pemohon perorangan; dan
b.
5 (lima) tahun badan usaha atau koperasi.
(2)
IUPJLWA–PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(3)
IUPJLWA–PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(4)
Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi kegiatan.
Pasal 20
(1) IUPJLWA-PSWA diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun.
(2) IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(3)
Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi kegiatan.
Bagian Kedua
Berakhirnya Izin
Pasal 21
(1)
IUPJLWA berakhir apabila :
a.
jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
b.
izinnya dicabut;
c.
pemegang izin mengembalikan izin secara sukarela;
d.
badan usaha atau koperasi sebagai pemegang izin bubar;
e.
badan usaha pemegang izin dinyatakan pailit; atau
f.
pemegang izin perorangan meninggal dunia.
(2)
Berakhirnya IUPJLWA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban pemegang izin untuk :
a.
melunasi kewajiban pungutan negara lainnya;
b.
melaksanakan semua ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya izin usaha.
Bagian Ketiga
Tata Cara Perpanjangan Izin
Pasal 22
(1)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PJWA disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya izin untuk perorangan atau 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya izin untuk badan usaha atau koperasi.
(2)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk perorangan, badan usaha atau koperasi dapat diajukan kepada :
a.
kepala SKPD/KPH provinsi yang membidangi kehutanan dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); atau
b.
kepala SKPD/KPH kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3).
(3)
Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dilengkapi dengan persyaratan :
a.
rencana kegiatan usaha jasa lanjutan, badan usaha atau koperasi; dan
b.
hasil evaluasi dari pengelola kawasan.
(4)
Tata cara permohonan perpanjangan dan pemberian IUPJLWA-PJWA sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(5)
Pemegang IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dibebani kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
Pasal 23
(1)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PSWA disampaikan oleh pemohon dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin.
(2)
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PSWA disampaikan kepada :
a.
gubernur, untuk lokasi yang berada lintas kabupaten/kota dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
b.
bupati/walikota, untuk lokasi yang berada pada 1 (satu) kabupaten/kota dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(3)
Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain harus dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6), juga dilengkapi dengan persyaratan tambahan :
a.
laporan akhir kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam;
b.
rencana pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam lanjutan;
c.
bukti pembayaran pungutan hasil usaha penyediaan sarana wisata alam; dan
d.
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik pada 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin.
(4)
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi pemohon, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan dalam waktu 5 (lima) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPJLWA-PSWA (SPP-IIUPJLWA-PSWA).
(5)
SPP-IIUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilunasi selambat-lambatnya dalam waktu 24 (dua puluh empat) hari kerja setelah diterimanya SPP-IIUPJLWA-PSWA.
(6)
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dipenuhi pemohon, gubernur atau bupati/walikota menerbitkan IUPJLWA-PSWA.
(7)
Pemegang IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dibebani kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
BAB VI
PEMBANGUNAN SARANA
Pasal 24
(1)
Luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling banyak 10 % (sepuluh per seratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin.
(2)
Bentuk bangunan sarana wisata alam untuk sarana wisata tirta dan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, dibangun semi permanen dan bentuknya disesuaikan dengan arsitektur budaya setempat.
(3)
Bentuk bangunan sarana bergaya arsitektur budaya setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan :
a.
ukuran, panjang, lebar dan tinggi bangunan/sarana disesuaikan dengan perbandingan/proporsi untuk setiap bentuk arsitektur daerah/lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan tersebut;
b.
pembangunan sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua) lantai bagi sarana akomodasi dengan kelerengan 0-15 % dan/atau 1 (satu) lantai untuk kemiringan > 15 % - 30 %;
c.
tidak merubah karakteristik bentang alam atau menghilangkan fungsi utamanya;
d.
tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan
e.
jarak bangunan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari kiri kanan sungai/mata air/danau.
Pasal 25
(1)
Pembangunan sarana untuk menunjang fasilitas sarana wisata tirta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, antara lain meliputi permandian alam, tempat pertemuan/pusat informasi, gudang penyimpanan alat untuk kegiatan wisata tirta, tempat sandar/tempat berlabuh alat transportasi wisata tirta.
(2)
Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan pada kelerengan 0 – 30 %, antara lain meliputi:
a.
penginapan/pondok wisata/pondok apung/rumah pohon;
b.
bumi perkemahan;
c.
tempat singgah karavan;
d.
fasilitas akomodasi; dan
e.
fasilitas pelayanan umum dan kantor.
(3)
Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d antara lain meliputi:
a.
ruang pertemuan;
b.
ruang makan dan minum;
c.
fasilitas untuk bermain anak;
d.
spa; dan
e.
gudang.
(4)
Fasilitas pelayanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e antara lain meliputi fasilitas :
a.
pelayanan informasi;
b.
pelayanan telekomunikasi;
c.
pelayanan administrasi;
d.
pelayanan angkutan;
e.
pelayanan penukaran uang;
f.
pelayanan cucian;
g.
ibadah;
h.
pelayanan kesehatan;
i.
keamanan antara lain menara pandang, pemadam kebakaran;
j.
pelayanan kebersihan; dan
k.
mess karyawan.
(5)
Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan pada kelerengan 0 – 30 %, sedangkan untuk ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan pada kelerengan 0 – 15 %.
(6)
Penyediaan sarana transportasi sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf c meliputi antara lain kereta listrik, kereta kabel/skyline, perahu bermesin, dan kereta kuda.
(7)
Sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d antara lain berupa:
a.
outbond;
b.
jembatan antar tajuk pohon (canopy trail);
c.
kabel luncur (flying fox);
d.
balon udara;
e.
paralayang; dan
f.
jalan lintas (jungle track).
Pasal 26
Selain sarana wisata alam yang dibangun sebagaimana dimaksud pada Pasal 25, dapat dibangun juga fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan antara lain berupa:
a.
jalan wisata;
b.
papan petunjuk;
c.
jembatan;
d.
areal parkir;
e.
jaringan listrik;
f.
jaringan air bersih;
g.
jaringan telepon;
h.
jaringan internet;
i.
jaringan drainase/saluran;
j.
toilet;
k.
sistem pembuangan limbah;
l.
dermaga; dan
m.
helipad.
Pasal 27
(1)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jalan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a meliputi :
a.
jalan dengan lebar badan maksimal 5 (lima) meter ditambah bahu jalan 1 (satu) meter kiri dan kanan, dengan sistem pengerasan menggunakan batu dan lapisan permukaan aspal.
b.
jalan kereta listrik dan/atau kereta gantung dengan sistem yang disesuaikan dengan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat.
(2)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa papan petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b yang dapat dibangun berupa:
a.
papan nama;
b.
papan informasi;
c.
papan petunjuk arah;
d.
papan larangan/peringatan;
e.
papan bina cinta alam; dan
f.
papan rambu lalu lintas.
(3)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jembatan, dermaga dan helipad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, huruf l dan huruf m dibangun berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang menyangkut keselamatan dan keamanan, dengan lokasi mengacu pada rencana pengelolaan.
(4)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa areal parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d dibangun dengan ketentuan :
a.
tidak menebang/merusak pohon;
b.
berada pada kelerengan 0 - 15%;
c.
dibangun diareal terluar lokasi IUPJLWA-PSWA; dan
d.
pengerasan areal harus dilakukan dengan konstruksi yang tidak mengganggu penyerapan air dalam tanah.
(5)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan listrik, air bersih telepon dan internet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h dibangun dengan ketentuan :
a.
diupayakan dibangun dalam tanah;
b.
pelaksanaan pembangunannya berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang menyangkut keselamatan dan keamanan.
(6)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan drainase/saluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf i dibangun dengan ketentuan :
a.
dibangun cara terbuka dan menggunakan pengerasan;
b.
dalam hal tidak memungkinkan dibangun dengan cara terbuka maka dapat dilakukan dengan sistem tertutup atau pengerasan dengan memperhatikan kaidah konservasi.
(7)
Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa sistem pembuangan dan pengolahan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf k terdiri atas :
a.
sistem pembuangan dan pengolahan limbah padat; atau
b.
sistem pembuangan dan pengolahan limbah cair.
Pasal 28
Bangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 harus memperhatikan :
a.
kaidah konservasi dan ramah lingkungan;
b.
sistem sanitasi yang memenuhi standar kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan;
c.
efisien dalam penggunaan lahan;
d.
memiliki teknologi pengolahan dan pembuangan limbah;
e.
konstruksi yang memenuhi persyaratan bagi keamanan dan keselamatan;
f.
hemat energi; dan
g.
berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang dan sesuai dengan rencana pengelolaan serta desain tapak.
Pasal 29
(1)
Bahan bangunan untuk pembangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diutamakan menggunakan bahan-bahan dari daerah setempat.
(2)
Dalam hal bahan bangunan tidak terdapat di daerah setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dipergunakan bahan bangunan dari luar daerah setempat yang tidak merusak kelestarian lingkungan.
(3)
Bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diambil dari kawasan hutan lindung.
BAB VII
PERALIHAN KEPEMILIKAN
Pasal 30
(1)
Sarana dan fasilitas kepariwisataan yang tidak bergerak pada izin yang telah berakhir kepemilikannya beralih menjadi milik daerah, kecuali bagi pemegang izin yang telah mendapat perpanjangan.
(2)
Terhadap sarana kepariwisataan yang tidak bergerak yang telah berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan inventarisasi oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangannya.
(3)Kegiatan.....
-17-
(3)
Kegiatan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk mengetahui antara lain jumlah, jenis, nilai teknis dan nilai ekonomis sarana dan fasilitas kepariwisataan.
Pasal 31
(1)
Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), sarana dan fasilitas kepariwisataan pada izin yang telah berakhir dialihkan kepemilikannya kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
(2)
Pengalihan kepemilikan sarana dan fasilitas kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Berita Acara Pengalihan Kepemilikan dari pemegang izin yang telah berakhir kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
(3)
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah penandatanganan Berita Acara Pengalihan Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.
(4)
Berdasarkan laporan dari Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melaporkan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja.
BAB VIII
KERJASAMA PARIWISATA ALAM
Pasal 32
(1)
Kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam dapat dilakukan antara:
a.
pengelola kawasan dengan pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA;
b.
pemegang IUPJLWA-PJWA dengan pemegang IUPJLWA-PSWA;
c.
pemegang IUPJLWA-PSWA dengan pemegang izin pemanfaatan/pemungutan/ penggunaan kawasan hutan;
d.
pengelola kawasan, pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA dengan pihak lain.
(2)
Kerjasama yang dilakukan oleh pemengang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA dilakukan dengan ketentuan:
a.
setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan bagi pemegang IUPJLWA-PJWA perorangan;
b.
setelah masa izin berjalan sekurang-kuranganya 2 (dua) tahun bagi pemegang IUPJLWA-PJWA badan usaha atau koperasi;
c.
setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi pemegang IUPJLWA-PSWA.
Pasal 33
(1)
Kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) antara lain meliputi :
a.
kerjasama teknis;
b.
kerjasama pemasaran;
c.
kerjasama permodalan;
d.
kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam.
(2)
Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi konsultasi teknis dan pembangunan sarana wisata alam.
(3)
Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa kerjasama membangun sarana penunjang pemanfaaatan jasa seperti antara lain kedai/kios, tempat sandar perahu, jalan setapak.
(4)
Kerjasama pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi promosi pariwisata melalui media massa, media elektronik, banner, baliho, pamflet.
(5)
Kerjasama permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi investasi di bidang pembangunan sarana pariwisata alam beserta penunjangnya.
(6)
Kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi penggunaan fasilitas jalan wisata di areal izin.
Pasal 34
(1)
Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang diketahui oleh gubernur atau bupati/walikota.
(2)
Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah hak pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA.
BAB IX
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN EVALUASI
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 35
(1)
Pembinaan terhadap pemengang IUPJLWA dilakukan oleh :
a.
Direktur Jenderal.
b.
Gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan.
c.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan, bimbingan, penyuluhan, penghargaan dan teguran kepada pemegang izin.
(3)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setahun.
(4)
Hasil pembinaan sebagaimana dimaksud ayat (3) dijadikan bahan dalam menentukan kebijakan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 36
(1)
Pengawasan terhadap pemengang IUPJLWA dilakukan oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan yang meliputi:
a.
pemeriksaan langsung di lapangan;
b.
pemeriksaan kondisi sarana yang diusahakan; dan
c.
pemeriksaan laporan pemegang izin usaha.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a.
kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk kegiatan sarana pariwisata alam;
b.
kepala Seksi SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk kegiatan jasa wisata alam.
(3)
Dalam rangka pengawasan kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat dapat bekerjasama dengan lembaga pengawas independent yang terakreditasi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan oleh lembaga pengawas independent yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 37
(1) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), dilaporkan kepada:
a.
Gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan untuk kegiatan sarana wisata alam.
b.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan.
(3)
Tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai dasar pemberian sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Evaluasi
Pasal 38
(1)
Evaluasi terhadap pemengang IUPJLWA dilaksanakan oleh :
a.
Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat; dan
b.
Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangannya.
(2)
Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan langsung ke lokasi dan tidak langsung berdasarkan laporan kegiatan yang disusun oleh pemegang IUPJLWA-PJWA dan IUPJLWA-PSWA.
(3)
Dalam hal hasil evaluasi pengusahaan wisata alam menunjukkan kinerja baik, penghargaan dapat diberikan kepada pemegang izin berupa :
a.
prioritas pengembangan usaha di lokasi lain;
b.
sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri atau gubernur atau bupati/walikota;
c.
insentif berupa perpanjangan izin usaha yang dinyatakan atau diberitahukan kepada pemegang izin sebelum ketentuan tata waktu permohonan perpanjangan izin usaha diajukan.
(4)
Pemengang Izin UPJLWA yang mempunyai kinerja baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan ketentuan :
a.
tidak melakukan pelanggaran ketentuan perundangan yang berakibat pidana;
b.
tidak pernah mendapat peringatan yang berakibat pada dicabutnya izin usaha;
c.
keuntungan finansial yang diperoleh pemegang izin selama 5 (lima) tahun berturut-turut menunjukkan peningkatan yang signifikan.
(5)
Kegiatan evaluasi dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan hasil evaluasi dijadikan bahan melaksanakan pembinaan dan serta menentukan kebijakan.
BAB X
SANKSI
Pasal 39
(1)
Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2), dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
c. pencabutan izin.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, diberikan oleh Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan.
(4)
Sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, diberikan oleh pemberi izin.
Pasal 40
(1)
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a, dikenai kepada setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2).
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggat waktu masing-masing 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya peringatan.
(3) Dalam hal surat peringatan pertama tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan kedua.
(4) Dalam hal surat peringatan kedua tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan ketiga.
Pasal 41
Dalam hal surat peringatan pertama ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan berikutnya dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
Pasal 42
(1)
Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan ketiga dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
(2)
Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, maka diterbitkan surat peringatan ketiga.
Pasal 43
(1)
Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu dilakukan tindakan penghentian sementara kegiatan dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
(2) Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, maka pemberi izin menetapkan surat penghentian sementara kegiatan.
(3) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat waktu 20 (dua puluh) hari, maka pemberi izin menetapkan surat penghentian sementara kegiatan.
(4) Dalam hal pemegang izin dalam tenggat waktu 20 (dua puluh) hari sejak penghentian sementara kegiatan diterima tidak ada upaya klarifikasi kepada pemberi izin, pemberi izin menetapkan keputusan pencabutan izin.
(5) Dalam hal pemegang izin menyampaikan klarifikasi kepada pemegang izin dalam tenggat waktu 20 (dua puluh) hari dan substansinya diterima oleh pemberi izin, pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap melaksanakan kegiatan sebagai pemegang izin.
(6) Dalam hal penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya, maka pemegang izin dikenakan sanksi pencabutan izin.
Pasal 44
(1)
Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6), bagi pemegang izin yang kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan pada kawasan hutan lindung, dikenakan sanksi pidana dan kewajiban melakukan rehabilitasi serta pembayaran ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan.
(2)
Pengenaan kewajiban rehabilitasi dan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Besaran dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Kehutanan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Mei 2012
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Pada tanggal 21 Mei 2012
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Mei 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 543
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,
ttd.
KRISNA RYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar