Yudhi sang pembuat Seimograf fortable |
Yudhi menjadi korban gempa karena dia menetap di Klaten, tak jauh dari pusat gempa. Pada tahun 2010 dia menjadi relawan Merapi.
"Nah sesudah Mbah Maridjan kena awan panas, dari situ teman-teman memantau perkembangan dari HT (handy talkie). Dari situ saya penasaran, bagaimana caranya membuat deteksi getaran, kok bisa secanggih itu menangkap getaran dari jauh," jelas Yudhi ketika berbincang dengan detikcom, Minggu (6/5/2012).
Saat itulah Yudhi memiliki ide membuat alat pendeteksi getaran gempa. Apalagi, minat untuk mempelajari getaran gempa itu mempertemukannya dengan teman-teman berminat sama dalam Komunitas Pemerhati Seismik Indonesia (KPSI). Atas bimbingan dari teman-temannya dalam KPSI pula, Yudhi dibantu mewujudkan ide untuk membuat alat ini.
Cara kerja alatnya, Yudhi menjelaskan, memanfaatkan gaya gerak listrik (GGL) seperti bila bermain kumparan dan magnet, keluarannya akan menghasilkan listrik seperti pada dinamo.
Nah di atas magnet dan kumparan ini, Yudhi menggantungkan suatu pegas. Dalam keadaan normal, pegas memang terlihat diam. Namun pegas itu bisa mendeteksi getaran sehalus apapun, seperti kendaraan lewat atau gempa bumi. Getaran kecil yang ditangkap pegas itu kemudian diperbesar arusnya memakai pre-amplifier. Kemudian getaran seismik itu bisa dipantau menggunakan multimeter atau VU LED Buzzer dengan bunyi, sebagai pertanda adanya getaran gempa.
Lantas, bagaimana bisa membedakan getaran itu suara kendaraan lewat atau gempa?
"Ada polanya, ada bedanya kalau ada motor lewat atau gempa. Kalau motor lewat dari dekat itu suaranya panjang, nggak terputus, 'teetttttttttt'. Kalau gempa ada polanya, 'teettttt-tit-tit-tit-tit-tit'," jelas pemuda kelahiran Klaten, 26 Juni 1991 ini.
Dia menambahkan, konsep alat buatannya ini cara kerjanya mirip seismometer yang dimiliki Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Alat ini bisa bekerja baik ketika ditanam di dalam tanah. Semakin solid tanah dan batuannya semakin baik alat itu bekerja.
"Syaratnya, alat ini harus dipasang yang jauh dari aktivitas elektromagnet, seperti adaptor, TV, HP, atau travo besar, itu kan gaya lilitannya besar. Tapi alat pembaca outputnya bisa dibawa ke dalam rumah," jelas Yudhi.
Beberapa model alat yang diciptakan Yudhi sudah dipasang 3 unit di Padang. 3 spot alat di
Padang menangkap kenaikan seismik beberapa hari sebelum kejadian gempa Aceh, tremor seismik terus terpantau oleh alat itu. Yudhi juga memasang alat ini di belakang rumahnya sendiri.
Hasilnya? "Alhamdulillah bisa mendeteksi gempa Aceh 8 SR, dan gempa Sukabumi 5,8 SR. Sampai Tongas, Filipina, hingga Sumatera, Sulawesi, Alhamdulillah sudah bisa. Diujicobakan di Merapi yang ada peningkatan aktivitasnya juga sudah bisa mendeteksi," jelas dia.
Alat sensor getaran ini akhirnya diberi nama dengan Waspada Meter. Selain di Padang, alat ini juga dipasang di Yogya, Riau, dan akan dipasang di Bengkulu dan Aceh.
Bentuk alat Waspada Meter saat belum disempurnakan sebenarnya belum sesempurna ini. Namun melewati beberapa perbaikan, alat Waspada Meter ini akhirnya bisa lebih disederhanakan, menjadi portabel dan bisa dibawa ke mana-mana.
Berapa modal membuat alat ini? "Murah, dulu awalnya kan punya pemikiran kita bisa memantau dan mendeteksi gempa jarak jauh, dengan alat murah sederhana yang bahannya ditemukan di sekitar kita, biaya (pembuatan) tidak sampai Rp 200 ribu," jelas mahasiswa semester 6 Universitas Widya Darma, Klaten, Jawa Tengah, ini.
Melaui kakaknya yang bekerja di BMKG, Yudhi mengetahui bahwa tanggapan dari BMKG pun positif dan mengimbau Yudhi untuk mengembangkan alat ini. Yudhi sudah memperagakan alatnya di depan Staf Khusus Presiden bidang Penanggulangan Bencana Alam dan Sosial Andi Arief. Andi Arief akan membantu pendaftaran hak paten di Kemenkum HAM.
"Besok Senin mau diuruskan hak paten. Ini kan untuk kegiatan sosial kemanusiaan ya, belum terpikirkan memperjualbelikan alat ini. Membuatnya mudah kok. Sebenarnya saya nggak terpikirkan sampai segitunya, dan nggak terpikirkan responsnya sampai sebegitunya," jelas Yudhi.
Meski pintar ngoprek, bukan berarti Yudhi merupakan mahasiswa Fakultas Teknik. "Saya mahasiswa akuntansi. Saya dulu sekolahnya (di SMA) IPA dan memang suka sains," ujarnya sambil terkekeh.
Putra pertama dari dua bersaudara pasangan Srianto dan Sri Sumarni ini berharap alat ciptaannya ini bisa berguna dan menjadi peringatan dini gempa bumi.
"Kita kan berada di daerah rawan bencana ya. Saya prihatin, tempat saya sendiri dekat dengan sesar gempa. Berharap alat ini bermanfaat buat masyarakat dan dapat digunakan seoptimal mungkin untuk penyelamatan diri (gempa bumi)," tutur pemuda yang hobi bermain alat musik organ ini.
(nwk/nrl)
Posting : Nograhany Widhi K - detikNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar