Pemmali terkait erat dengan pappaseng , oleh pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun pappaseng(pesan) sebab merupakan nasehat hidup atau pelajaran hikmah yanglahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan lewat karya sastra dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku Bugis-Makassartetapi pemmali, juga sebagai sebuah pesan yang memberi efek berbeda dengan volume pelarangan yang sangat menekan, sebab diikuti dengan sanksi meskipun bentuknya terkadang gaib.
Pada masyarakat lampau sifat pemmali ini secara umum
teraplikasi dengan baik sebab menjadi timbangan yang istimewa dalam
mempengaruhi emosional lawan bicara (reseptor /audens) sehingga menjadi
kemestian untuk tidak melakukan yang bersifat larangan(harus
diindahkan) meski dengan tidak rela / terpaksa mengikuti.
“Pemmali = kata terapan dari bahasa Arab dari kata “Fiil Madi” (kata
lampau), sebab dalam perkembangan hubungan sosial dan adab kita,
sesuatu yang diappemmaliang jika dilanggar lebih sering terjadi efek
buruk.
Beberapa hal yang menyangkut dengan hal pamali dalam masyarakat bugis makassar ini antara lain “Pemmali pura Manre nappa matinro, menre I’ salompongnge” (dilarang langsung tidur setelah makan, sebab ulu hatimu dapat membesar), “Diappemmaliangngi gattung lipa ri ellongnge’, mate maddarai tewwe (dilarang
menggantung sarung pada leher karena biasanya orang akan mati berdarah)
– memadukan baju dengan sarung sebagai kostum hari-hari bagi lelaki
Bugis-Makassar adalah tradisi, yang menjadi pelarangan ketika sarung
itu digantung ke leher, sinyalemen keburukan ini di logikakan oleh Andi
Radja Karaen Nai’, sebagai bentuk kelemahan ketika dengan mudah musuh
menarik sarung sehingga obyek penderita tersebut terjerat lehernya.
(sang Baco )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar