Minggu, 17 Maret 2013

Sejarah perang Saudara, Bugis dan Toraja

TNO-Sulsel, Putusnya hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 akibat adanya persaingan yang keras maka pedagang Bugis pun leluasa memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’. Para bangsawan Toraja yang banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa menjadi daya tarik yang menggiurkan.
Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.  Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis, mereka pun menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya.
Berkuasanya invasi BUgis ini mengakibatkan terjadi transformasi budaya yaitu beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei), maka judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.  Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.
Meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’ Allo yang terus mengadakan arena perjudian, mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.  Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Setelah Pakila’ Allo meninggal dengan cara meracuni, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.  Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :  1)    Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu  2)    Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira  3)    Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.  Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.
Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun  tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “  “Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”  Artinya :  “Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone”  Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo.
Sejak hubungan kedua daerah pulih kembali pada awal abad ke-18, pedagang Bugis pun kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata – senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangsung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka  mulailah terjadi perang saudara dan penjualan budak yang ditukar dengan senjata api.  Perang terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Andi Guru”. (sumber: http://www.blogger.com)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar