Sarung dan orang Bugis, sebuah keniscayaan yang hakiki. Pada banyak
tempat, orang yang senantiasa memakai atau memakai sarung pasti selalu
diidentikkan dengan orang Sulawesi. Kata Sulawesi mewakili suku Bugis,
Makassar, Mandar, Toraja, Tolotang, Kajang serta beberapa sub etnis
lainnya di Sulawesi Selatan, berikut suku dan etnis di wilayah Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Gorongtalo.
Memakai sarung memang identik dengan mereka, hampir semua aspek
kehidupan dan aktifitas keseharian mereka lekat dengan sarung. Sarung
dapat mereka pakai untuk acara resmi, semi resmi dan tidak resmi.
Sarung dapat mereka pakai di dalam rumah, di luar rumah hingga di
tempat umum. Sarung dapat juga mereka pakai untuk tidur, makan, bekerja
di ladang, menggarap sawah, beribadah hingga untuk bersenggama.
Kaum wanita di Sulawesi Selatan terutama yang masih kental dengan
tradisi kedaerahannya, pada umumnya merasa lebih aman jika mandi
dengan berbalut kain sarung ditubuhnya, dibanding hanya menutupi bagian
vitalnya dengan pakaian dalam apalagi tanpa penutup sama sekali. Tidak
hanya jika ia mandi di tempat terbuka, melainkan juga jika ia dalam
kamar mandi sekalipun, meski kamar mandi itu berada dalam kamar
pribadinya.
Tradisi budaya masyarakat Sulsel melekat kuat dengan fungsi hakikat
sarung terutama di masyarakat Bugis. Budaya ini bahkan diberlakukan
untuk tamu yang terlibat cukup dekat dengan aktifitas lingkungan
setempat misalnya harus menginap di salah satu rumah warga maka pada
umumnya akan disodori 3 lembar sarung. Tiga lembar sarung memiliki
perbedaan baik dari segi bahan, ukuran dan peruntukan. Tiga sarung
tersebut masing-masing sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan
sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung ketiga ditambahkan untuk
melengkapi 2 jenis sarung sebelumnya seiring dengan diterapkan hukum
syariat Islam sebagai bagian dari
Pangadereng masyarakat Bugis (Makassar:
Pagadakkang) – Pemahaman adat, melengkapi empat komponen hukum adat sebelumnya yakni;
adeq, bicara, wari dan
rapang.
Sarung tidur (Lipa Tinro),
merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan
oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan (dominan) benang katun,
sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk
tubuh pemakainya. Motifnya sederhana hanya berupa permainan warna,
corak atau berupa motif tumbuhan yang dibuat dengan tehnik cap, batik
atau sablon. Sarung ini biasanya bukan hasil tenunan melainkan sarung
tekstil (buatan pabrik).
Sarung mandi (Lipa Cemme), memiliki bahan,
corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan
terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung
lainnya. Warna kusam yang tampak adalah efek dari seringnya sarung ini
dibasahi atau dicuci setiap kali sarung ini dipakai mandi oleh
pemakainya. Adakalanya, sarung mandi tidak disodorkan bersamaan dengan
dua sarung lainnya, biasanya tuan rumah sudah menempatkan sarung mandi
ini didalam kamar mandi, terutama jika kamar mandi tersebut berada
dalam ruang tidur tadi (kamar mandi dalam).
Sarung shalat (Lipa Sempajang) adalah
satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang biasanya
berbeda dengan dua sarung sebelumnya. Kebanyakan sarung ini terbuat
dari benang katun dengan tambahan benang plastik sintetis berwarna
(Bugis :
Gengang) sebagai komponen utama yang memunculkan
corak dan motif pada sarung tersebut. Bagi tuan rumah yang mampu,
biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bagi yang
lain cukup dengan sarung pabrikan, tetapi yang masih baru atau relatif
baru.
Diluar tiga sarung tersebut, boleh jadi dalam ruang tidur tamu
terdapat tambahan satu sarung lagi. Sarung tersebut adalah sarung
senggama. Hanya Anda yang memenuhi syarat berikut yang bisa memakai
sarung tersebut. Syarat tersebut adalah; Anda sudah menikah, Anda mampu
menahan malu untuk melakukan ritual suami istri tersebut di rumah orang
lain dan terakhir Anda harus membawa sendiri sarung tersebut.
Tiga lembar sarung yang disodorkan pada setiap tamu bagi orang Bugis
menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk penghormatan dan memanusiakan
tamu. ( Sumber : Suryadin Laoddang)