Minggu, 02 Maret 2014

Jejeran Arsip Indonesia di Belanda Sudah Sepanjang 11 Kilometer

ilustrasi
AyoGitaBisa.com - Pada masa penjajahan Belanda, banyak arsip-arsip Indonesia yang di bawa ke Belanda. Arsip-arsip yang jumlahnya ribuan tersebut, sampai sekarang masih tersimpan rapi di Belanda.
Rektor Universitas Leiden, Prof. Carel Stolker mengatakan, kondisinya sekarang sangat rapuh, sehingga harus disimpan dengan hati-hati. Di Universitas Leiden sendiri, koleksinya semakin bertambah banyak karena juga mendapat sumbangan dari Universitas Amsterdam.
Untuk menyelamatkan arsip-arsip penting yang merupakan sejarah Indonesia dan juga Belanda, maka dilakukan digitalisasi naskah dan bisa diunggah di internet. Sehingga siapapun bisa membaca dan menelusurinya.
"Jumlahnya cukup banyak, jika dijejer itu panjangnya mencapai 12 Kilometer. Dosen-dosen di Indonesia, banyak yang belajar arsip ini langsung ke Leiden," kata Prof. Carel Stolker usai menyerahkan penghargaan Diploma untuk Sri Sultan HB IX di Keraton Yogyakarta, Kamis(27/2/2014).
Menurutnya, arsip-arsip tersebut sangat penting, karena merupakan sejarah bersama antara Indonesia dan Belanda. Sehingga untuk menjaga keawetan agar tidak rapuh, adalah dengan digitalisasi naskah.
[asa]
»»   Selengkapnya...

Senin, 28 Oktober 2013

PERINGATAN SUMPAH PEMUDA DI TATOR DILAKSANAKAN SECARA SANGAT SEDERHANA

Makale-TNO, Peringatan hari Sumpah Pemuda untuk Kabupaten Tana Toraja dilaksanakan secara sederhana di Lapangan Kantor Bupati Tana Toraja. Upacara peringatan hari Sumpah Pemuda ke-85, dipimpin Dandim 1414/Tator, Letkol.Inf. Erwin Ferdinan.B, dihadiri Bupati Tana Toraja, Perwakilan Kejari Makale, Pengadilan Negeri Makale, serta Polres Tator. Juga diikuti oleh para kepala SKPD, siswa-siswi dari beberapa sekolah. Dandim membacakan Amanat Menpora yang pada intinya mengajak semua unsur, utamanya Pemuda untuk tetap menjiwai Tekad Pemuda Indonesia tahun 1928. Sementara Ikrar Pemuda dibacakan Ketua KNPI Tana Toraja, Alexander Patandean.

Setelah pelaksanaan Upacara tersebut, dilanjutkan dengan penyerahan Piala Juara 2 Olympiade Persaingan Usaha yang diraih siswa SMAN 3 Makale, dan diserahkan oleh Perwakilan SMAN 3 Makale kepada Bupati Tana Toraja.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini, untuk Kabupaten Tana Toraja dirangkaikan dengan Peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang seharusnya diperingati pada 1 Oktober yang lalu, dan Upacara Hari Kesadaran Nasional yang diperingati pada tanggal 17 setiap bulannya. (r1an)
»»   Selengkapnya...

Rabu, 20 Maret 2013

Tradisi Menghormati Manusia dengan Kain Sarung

Sarung dan orang Bugis, sebuah keniscayaan yang hakiki. Pada banyak tempat, orang yang senantiasa memakai atau memakai sarung pasti selalu diidentikkan dengan orang Sulawesi. Kata Sulawesi mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Tolotang, Kajang serta beberapa sub etnis lainnya di Sulawesi Selatan, berikut suku dan etnis di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Gorongtalo.
Memakai sarung memang identik dengan mereka, hampir semua aspek kehidupan dan aktifitas keseharian mereka lekat dengan sarung. Sarung dapat mereka pakai untuk acara resmi, semi resmi dan tidak resmi. Sarung dapat mereka pakai di dalam rumah, di luar rumah hingga di tempat umum. Sarung dapat juga mereka pakai untuk tidur, makan, bekerja di ladang, menggarap sawah, beribadah hingga untuk bersenggama.
Kaum wanita di Sulawesi Selatan terutama yang masih kental dengan tradisi kedaerahannya,  pada umumnya merasa lebih aman jika mandi dengan berbalut kain sarung ditubuhnya, dibanding hanya menutupi bagian vitalnya dengan pakaian dalam apalagi tanpa penutup sama sekali. Tidak hanya jika ia mandi di tempat terbuka, melainkan juga jika ia dalam kamar mandi sekalipun, meski kamar mandi itu berada dalam kamar pribadinya.
Tradisi budaya masyarakat Sulsel melekat kuat dengan fungsi hakikat sarung terutama di masyarakat Bugis. Budaya ini  bahkan diberlakukan untuk tamu yang terlibat cukup dekat dengan aktifitas lingkungan setempat misalnya harus menginap di salah satu rumah warga maka pada umumnya akan disodori 3 lembar sarung.  Tiga lembar sarung memiliki perbedaan baik dari segi bahan, ukuran dan peruntukan. Tiga sarung tersebut masing-masing sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung ketiga ditambahkan untuk melengkapi 2 jenis sarung sebelumnya seiring dengan diterapkan hukum syariat Islam sebagai bagian dari Pangadereng masyarakat Bugis (Makassar: Pagadakkang) – Pemahaman adat, melengkapi empat komponen hukum adat sebelumnya yakni; adeq, bicara, wari dan rapang.
Sarung tidur (Lipa Tinro), merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan (dominan) benang katun, sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk tubuh pemakainya. Motifnya sederhana hanya berupa permainan warna, corak atau berupa motif tumbuhan yang dibuat dengan tehnik cap, batik atau sablon. Sarung ini biasanya bukan hasil tenunan melainkan sarung tekstil (buatan pabrik).
Sarung mandi (Lipa Cemme), memiliki bahan, corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung lainnya. Warna kusam yang tampak adalah efek dari seringnya sarung ini dibasahi atau dicuci setiap kali sarung ini dipakai mandi oleh pemakainya. Adakalanya, sarung mandi tidak disodorkan bersamaan dengan dua sarung lainnya, biasanya tuan rumah sudah menempatkan sarung mandi ini didalam kamar mandi, terutama jika kamar mandi tersebut berada dalam ruang tidur tadi (kamar mandi dalam).
Sarung shalat (Lipa Sempajang) adalah satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang biasanya berbeda dengan dua sarung sebelumnya. Kebanyakan sarung ini terbuat dari benang katun dengan tambahan benang plastik sintetis berwarna (Bugis : Gengang) sebagai komponen utama yang memunculkan corak dan motif pada sarung tersebut. Bagi tuan rumah yang mampu, biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bagi yang lain cukup dengan sarung pabrikan, tetapi yang masih baru atau relatif baru.
Diluar tiga sarung tersebut, boleh jadi dalam ruang tidur tamu terdapat tambahan satu sarung lagi. Sarung tersebut adalah sarung senggama. Hanya Anda yang memenuhi syarat berikut yang bisa memakai sarung tersebut. Syarat tersebut adalah; Anda sudah menikah, Anda mampu menahan malu untuk melakukan ritual suami istri tersebut di rumah orang lain dan terakhir Anda harus membawa sendiri sarung tersebut.
Tiga lembar sarung yang disodorkan pada setiap tamu bagi orang Bugis menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk penghormatan dan memanusiakan tamu. ( Sumber : Suryadin Laoddang)
»»   Selengkapnya...

Selasa, 19 Maret 2013

Batu Hampar, Bukti Sejarah Raja-Raja Bugis Di Malaysia

Batu Hampar yang ada di Kuala Selangor, Malaysia adalah salah satu situs peninggalan para keturunan raja Luwu Bugis yang pernah memangku pemerintahan kerajaan. Menurut kisah sejarahnya, batu Hampar ini merupakan tempat orang-orang Bugis Luwu memenggal Kepala Musuh, tersangka kasus kejahatan ataupun penjahat. Situs ini Terletak di bukit pintu masuk kota Melawati, Selangor. Permukaan batunya berukuran 5 x 5 x 2 kaki. Batu tempat eksekusi ini sudah ada pada jaman Raja Lumu Sultan Salehuddin Syah Ibni Almarhum Daeng ChelaK 1705–1778 — di Pulau Sudong.
Kerajaan Selangor merupakan kerajaan terakhir yang muncul pada abad 18 dan diasaskan oleh Bugis di mana Raja Lumu yang menjadi Sultan Selangor yang pertama dengan gelaran Sultan Salehuddin Syah. Dalam silsilahnya disebutkan bahwa Raja Lumu ini adalah anak dari Daeng Celak (Opu Daeng Cella). Sampai saat ini, pemangku kerajaan Selangor masih merupakan keturunan dari kerajaan Luwu.
batu hampar 2Batu Hampar ini dahulunya berada dalam kawasan istana kota pertahanan kedua dimana terdapat tiga undakan tangga menuju halamannya seluas 30 x 30 kaki. Keunikan batu hampar itu adalah terletak diatas pasir namun posisinya tetap berdiri tegak tidak miring sedikit pun. Letaknya diatas bukit Melawati berjarak sekitar 100 meter dari kawasan Istana. Diketahui pula bahwa bukit ini merupakan tempat menyimpan harta kerajaan.
Kisah-kisah yang ada menceritakan bahwa batu Hampar ini digunakan sebagai tempat menghukum pezinah dengan memenggal lehernya. Darahnya ditampung kemudian disebarkan disekeliling areal batu Hampar itu. Namun seorang keturunan panglima perang kerajaan Selangor yakni Encik Nokik Bin Lakik yang senantiasa mencermati kisah sejarah di bukit Melawati itu menceritakan lain. Ia menegaskan bahwa batu Hampar itu dulunya merupakan tempat bersemayam Sultan Selangor terutama menyambut para tetamu yang akan membayar upeti kepada kerajaannya. Selain itu, batu Hampar itu juga difungsikan sebagai meja untuk bermain catur sang Sultan. Banyak pihak yang mengerti sejarah masa silam kerajaan Selangor membenarkan hal itu. (sumber: bluesriders / foto: Raja Luwu Bugis Sawerigading)
»»   Selengkapnya...

Minggu, 17 Maret 2013

Sejarah perang Saudara, Bugis dan Toraja

TNO-Sulsel, Putusnya hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 akibat adanya persaingan yang keras maka pedagang Bugis pun leluasa memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’. Para bangsawan Toraja yang banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa menjadi daya tarik yang menggiurkan.
Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.  Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis, mereka pun menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya.
Berkuasanya invasi BUgis ini mengakibatkan terjadi transformasi budaya yaitu beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei), maka judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.  Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.
Meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’ Allo yang terus mengadakan arena perjudian, mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.  Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Setelah Pakila’ Allo meninggal dengan cara meracuni, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.  Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :  1)    Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu  2)    Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira  3)    Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.  Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.
Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun  tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “  “Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”  Artinya :  “Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone”  Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo.
Sejak hubungan kedua daerah pulih kembali pada awal abad ke-18, pedagang Bugis pun kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata – senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangsung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka  mulailah terjadi perang saudara dan penjualan budak yang ditukar dengan senjata api.  Perang terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Andi Guru”. (sumber: http://www.blogger.com)
»»   Selengkapnya...