Sabtu, 04 Agustus 2012

Banjir Bandang Ambon, luluh-lantahkan Pemukiman SOLATA



Air sampai di atap-atap rumah. Foto: Zakharia BP

Pasca Bencana Banjir

Hancur Berantakan

Kondisi Rumah Warga Toraja yang diterjang banjir. Foto: Sakharia BP
TNO-AMBON — Banjir bandang di Maluku selain terjadi di Kota Ambon, juga menerjang desa-desa di Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat, pada hari yang sama. Memaksa ribuan warga mengungsi. Pemukiman Solata di desa Galala-Hative pun ikut hancur. Berikut laporan citicen repoter TCN, Zakharia B Patiung dari kota Ambon.
Menjelang akhir bulan Juli 2012, hujan deras tak putus-putusnya menghujam kota Ambon selama lebih dari 3 hari 3 malam. Bukannya akan menyambut bulan baru dengan semangat dan sukacita yang baru pula, warga kota Ambon malah harus menelan pil pahit akibat bencana longsor dan banjir bandang. Puncaknya ialah pada tanggal 1 Agustus 2012, siang hari sekitar jam 2. Yang parah adalah di daerah desa Galala-Hative Kecil yang kebanyakan dihuni oleh warga pendatang bahkan sekitar 60%-nya adalah SOLATA, Sang Torayan. Desa Galala – Hative Kecil adalah kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Wairuhu dan langsung berhadapan dengan Teluk Ambon. Pada hari naas itu, debit air sungai Wairuhu yang sudah meluap akibat air hujan dan lumpur dari pegunungan dibarengi oleh pasangnya air sungai di Teluk Ambon. Banjir pun tak dapat dihindari, bahkan air pun meluap ke pemukiman warga yang sebelumnya tak pernah tersentuh luapan air sungai. Menurut kesaksian beberapa warga, luapan air datang tiba-tiba bahkan sampai ke jalan poros dari dan ke kota Ambon yang mengakibatkan kemacetan yang lama.
Dampak bencana. Sebenarnya, banjir ini sudah menjadi “jatah rutin” bagi warga yang bermukin di kawasan Desa Galala-Hative Kecil apalagi saat musim penghujan, khususnya yang berada di Daerah Aliran Sungai Wairuhu. Sehingga seolah-olah hal ini sudah dianggap biasa. Namun dampak dari banjir kali ini akibat hujan deras yang tiada henti bagaikan lagu medley Natal yang dikumandangkan pada bulan Desember serta dibarengi pasangnya air laut di Teluk Ambon betul-betul mengagetkan serta membuat panik sejumlah warga. Banyak warga mengatakan bahwa hal ini baru pernah terjadi dan kejadiannya diluar dugaan. Selain itu, waktu kejadian adalah saat sebahagian warga berada dalam rutinitas tugas perkantoran dan pendidikan masing-masing yang terletak di luar desa tersebut. Alhasil, beberapa warga yang berada di kawasan itu pada saat kejadian tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan barang-barang yang masih bisa dijangkau untuk diselamatkan. “Jangankan menyelamatkan barang-barang, menyelamatkan anak-anak saja sangat kewalahan, karena banjir datang dengan tiba-tiba. Kami keluar dari rumah hanya dengan baju basah di badan. Karena air yang datang sudah melewati kepala, kami terpaksa memanjat loteng dan keluar lewat plafon rumah dan meniti atap-atap rumah tetangga sambil berenang”, aku seorang warga dalam logat Ambon. Banjir kali ini adalah banjir terdahsyat dari banjir-banjir yang pernah terjadi sebelumnya di kawasan itu. Debit air dan material lumpur dari banjir kali ini sangat banyak. Jika banjir-banjir sebelumnya hanya menimpa daerah-daerah yang rendah, kini banjir meluap ke daerah pemukiman warga yang boleh dikatakan tinggi bahkan ke daerah yang sebelumnya belum pernah terjangkau terjangan banjir. Jika sebelumnya rumah-rumah masih bisa menahan derasnya banjir, kini banjir bahkan berhasil menghanyutkan rumah beberapa penduduk di sekitar bantaran sungai. Ada juga jembatan penghubung yang dikenal dengan sebutan Jembatan Satu Rupiah yang menghubungkan dua pemukiman dalam Desa Hative Kecil di antara sungai Wairuhu. Jembatan ini juga merupakan jalan alternatif jika warga di pemukiman sebelah ingin beribadah setiap hari minggu di gedung gereja yang letaknya terletak di sisi kawasan lainnya. Bahkan di daerah itu ada 2 gedung gereja yang berdiri. Jika dulunya jembatan ini kokoh dari terjangan banjir, kini yang terlihat hanyalah 2 tonggak beton kaku yang saling berhadapan karena jembatan penghubung diantaranya telah dihanyutkan oleh hantaman gelombang banjir. Akibatnya, jika ingin beribadah warga terpaksa mengambil jalan putar mengelilingi desa atau memilih untuk beribadah di gedung gereja lainnya.
Belum lagi jika kita menghitung kerugian materil akibat bencana ini. Bagi warga yang terlanjur tergenang air hingga melewati tinggi orang dewasa, barang tak menjadi prioritas. Yang penting nyawa selamat. Bagi sebagian warga yang tergenang air tidak terlalu tinggi, mereka hanya bisa menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan terutama yang rentan terhadap kerusakan karena terkena air, misalnya barang-barang elektronik, pakaian, surat-surat berharga, kendaraan bermotor, serta barang-barang rumah tangga yang berbahan spons; kasur, sofa, dan lain-lain. Memilukan jika melihatnya.
Korban dari banjir ini kebanyakan adalah SOLATA Sang Torayan.

Saya merasa tak tenang di kantor setelah mendapat berita mengenai kejadian ini. Saya tahu persis daerah ini, saya tahu persis warga yang ada disana karena itu adalah tempat pelayanan saya di sekolah minggu serta pelayanan pemuda, dan saya tahu persis bahwa warga di sepanjang sungai itu, sekitar 60% s.d 70%-nya adalah orang-orang Toraja, SOLATA. Mereka telah pertahun-tahun hidup dan mencari nafkah di tempat itu. Saat pulang kantor, hujan masih sangat deras, saya langsung berangkat ke lokasi bencana. Yang di didalam benak saya adalah rumah dimana teman-teman saya yang letaknya berada di pemukiman seberang , kompleks SOLATA. Saya tak membawa kendaraan karena takutnya banjir masih meluap. Saya coba berjalan untuk segera mungkin mencapai rumah teman-teman saya. Tapi sial, jembatan penghubung sudah tak ada lagi. Terpaksa saya harus berjalan kaki sekitar 2 km memutari desa untuk sampai ke rumah teman-teman saya, yang sebenarnya bisa dijangkau dengan berjalan kaki sejauh 100 meter jika saja jembatan masih ada. Sesampainya disana, saya begitu terkejut. Jalan kecil yang beraspal yang menuju ke lokasi rumah teman saya kini hanya bagaikan hamparan pasir dan lumpur. Tak terlihat lagi aspal disitu. Samping kiri kanannya dipenuhi perabotan coklat karena berlumpur. Bahkan kedua gedung gereja pun tergenang air dan lumpur. Saya sempat bertemu dengan salah seorang teman saya,orang Toraja juga, orang Pangli, sambil tersenyum dia berkata dalam logat Ambon, “Seng bisa bilang lai, pi lia akang jua!”. Dalam bahasa Toraja, kira-kira begini, “Tang diissanmo umpokadai, male kalena bangmoko tiroi jo to’ banua!”. Betul saja, rumah yang dulu saya kenal sangat bersih dan rapi kini terlihat jorok karena lumpur dan berantakan bagaikan kapal pecah. Barang-barang basah, tak sempat diselamatkan karena pada waktu kejadian teman-teman saya masih kerja di kantornya. Aku pun langsung turun tangan untuk membersihkan rumah, mengeluarkan genangan lumpur dari rumah, dan mengevakuasi barang-barang ke plafon rumah. Prihatin melihatnya.

Pasca Bencana
Walaupun rumah dan barang porak poranda, kita masih bisa bersyukur karena tidak ada korban jiwa akibat bencana ini, khususnya di Desa Galala Hative Kecil. Meskipun menurut berita di daerah lain seputar pulau Ambon ada korban jiwa akibat bencana ini. Keluarga yang menjadi korban bencana diungsikan di gedung SMP Negeri 3 Ambon, Hative Kecil. Sebagian besar SOLATA ada juga yang diungsikan di gedung Gereja Efata di Galala, bahkan sebagiannya pula ada yang masih bertahan di lantai 2 rumah mereka saat banjir terjadi. Pengungsi didominasi oleh ibu-ibu dan anak anak. Kondisi mereka memprihatinkan walaupun mereka tetap memperlihatkan senyum ceria. Mereka sangat membutuhkan sumbangan pakaian layak pakai, makanan, minuman dan obat-obatan. Sampai sekarang bala bantuan dan sumbangan kepada korban bencana masih terus berdatangan dari berbagai pihak. Sehari pasca banjir, hujan sudah redah, matahari pun mulai menampakkan diri. Sebahagian masih bertahan di pengungsian, dan sebahagian pula sudah kembali ke rumah masing-masing untuk membereskan rumah dan barang-barang yang tadinya terendam air dan tergenang lumpur. Bala bantuan dari sukarelawan seperti Basarnas, TNI, mahasiswa, gereja, dan lain-lain turun tangan, bahu membahu untuk membersihkan lumpur di area bencana.
**

“Nang pepasan todolota, nang turan to mendadianta, kumua la nenne’ki’ sipopa’di’, tontongki’ la sikaritutuan, ke denki’ nalambi’ sussa, nadete’ kamapa’diran. Sipadiong lisunna pala’, sipalan se’ponna kalepak. Tang sipairisan angin ri buntu, tang sipasimboan darinding rika anglean. Anna rapa’ te tondokta, salipapan pangleonta, sae rekke sae sau’, sumpu tama sae rokko, salipapan sola nasang!”.
Laporan: Zakharia Bangka’ Patiung – Ambon, Maluku
Published On: Sat, Aug 4th, 2012

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar