PONG Tiku dikenang baik di Tana Toraja. Sejarah perjuangannya ditulis laiknya pejuang sejati. Dia memang berprediat pahlawan nasional. Sementara 23 sahabatnya, kelompok yang ikut berjuang pasca-pengasingan tahun 1917, hingga kini masih diliputi kontroversi.
Penjajah Belanda mengecap para sahabat Pong Tiku sebagai pemberontak. Dan, meski Agustus 2011 nanti, kolonialisme sudah 66 tahun enyah dari Indonesia, namun kesan “the torajan rebel”, pemberontak Toraja, bagi ke-23 sahabat seperjuangan sang pahlawan nasional itu, hingga kini masih terus dialamatkan penjajah kepada mereka dan keluarganya.
Dan kini, bahkan terkesan dibiarkan dan terus “dikhutbahkan” dalam lembaga keagamaan.
Inilah yang melatar belakangi munculnya tulisan ini. Sebagai keluarga para sahabat Pong Tiku, kami merasa perlu membela diri. Setidaknya, tulisan ini muncul masih dalam suasana perayaan meninggalnya Pong Tiku, yang diperingati saban 10 Juli.
Sembilan puluh empat tahun silam, tepatnya 10 Juli 1907 di tepian Sungai Sa’dan di sekitar Singki’, Rantepao (kini di belakang kantor Bupati Toraja Utara saat ini) Pong Tiku tewas dieksekusi secara licik oleh serdadu Belanda. Konon 2 saudaranya tewas di tangan anak buah Pong Tiku. Ada pengkhianatan.
Darahnya tumpah tidak hanya membasahi bumi Toraja, Tana Matarik Allo – Tondok Lepongan Bulan, tetapi juga melintasi Tana Enrekang – Bumi Mansenrempulu, serta Bumi Sawitto, kini berada di Pinrang, sebelum akhirnya mengalir ke Selat Makassar mengikuti aliran Sungai Sa’dan.
Sampai Maret 1906, Tana Toraja masih steril dari tangan penjajah Belanda. Namun ancaman sebenarnya sudah dirasakan sejak pertengahan 1905. Kala itu, serbuan serdadu Belanda sudah memasuki wilayah Duri, arah selatan Tana Toraja dan dari arah timur lebih duluan bercokol di Palopo.
Kondisi ini disikapi para pemuka masyarakat dan penguasa adat se Tana Toraja bermusyawarah. Tujuannya menghilangkan benih perpecahan sekaligus menyatukan sikap dan kekuatan melawan serdadu Belanda. Pertemuan dilaksanakan September 1905 di Buntu Pune dekat Ke’te’ Kesu’. Sebagian Warga Toraja, mengenal dengan Ikrar Buntu Pune.
Pertengahan Maret 1906, pasukan kompeni Belanda berkekuatan 150 serdadu bersenjata lengkap dipimpin 3 perwira dibawah komando Kapten Infantri Kilian memasuki wilayah Tana Toraja dari arah timur/Palopo tanpa menghadapi perlawanan. Para penguasa adat dan tokoh masyarakat khususnya yang berdomisili di dataran rendah ternyata tidak konsisten pada Ikrar Buntu Pune.
Namun tidak demikian bagi Pong Tiku yang berdomisili di punggung Bukit Lolai dan di balik Gunung Sesean. Ia tetap kokoh pendiriannya melawan Belanda sebagaimana diikrarkan di Buntu Pune. Sebaliknya, ia memperkuat benteng pertahanannya yang tersebar di berbagai kampung.
Meskipun dipertahankan dengan gigih, gempuran artileri serdadu Belanda memaksa Pong Tiku meninggalkan bentengnya satu per satu dan akhirnya bertahan di benteng Buntu Batu yang tidak bisa ditembus.
Dengan tipu muslihat melalui ajakan berunding, Pong Tiku akhirnya ditangkap dan dieksekusi di Singki’, Rantepao. Ini sekaligus menandai berakhirnya peperangannya melawan Belanda dalam kurun waktu 14 bulan.
Pong Tiku dikenang dengan baik dan para peneliti sejarah banyak yang tertarik menulis sejarah perjuangannya. Demikian juga ketika diusulkan sebagai Pahlawan Nasional semua pihak mendukung sampai akhirnya secara resmi Pong Tiku ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah kematian Pong Tiku nyaris tidak ada lagi perlawanan bersenjata dalam skala besar. Namun, rahasia diantara para sahabat Pong Tiku yang masih menyimpan rencana melawan Belanda terus ada:
1.Tandibua’ , saudara sulung Pong Tiku yang langsung mengambil alih tampuk pimpinan pemerintahan (Kepala Distrik) di Pangala’, setelah kematian Pong Tiku. Ia masih menyimpan dendam atas kematian adiknya. Melalui operasi rahasia bersama pejuang lainnya, mereka berjuang.
2. Ne’ Matandung, Kepala Distrik/Puang Balusu sudah lama memendam kebencian terhadap Belanda karena kecongkakan dan kekejamannya. Dibenaknya tersimpan rencana untuk membalas sekaligus untuk menebus kekhilafannya karena tidak konsekwen dengan Ikrar Buntu Pune. Para pejuang militan dibawah pimpinan Pong Massangka selain secara moril juga dalam bentuk materi berupa uang tunai 100 gulden dan 1 ekor kerbau untuk membiayai kegiatan operasional merealisasikan rencana perjuangan.
3. Pong Massangka , salah seorang pejuang yang relatif lebih muda (sebaya Pong Tiku) sejak kedatangan Belanda di Tana Toraja tidak pernah menunjukkan sikap tunduk kepada Belanda apa lagi menyerahkan senjatanya.
Sikap tegas ini dihargai para seniornya seperti Pong Arung, Ne’ Matandung dan Tandibua’ serta para tokoh masyarakat lainnya. Kini di Toraja Utara, tetapi juga secara intensif menjalin komunikasi dengan para penguasa adat diluar Toraja Utara antara lain dengan Puang Sangalla’ dan Puang Mengkendek dari wilayah Selatan, Pong Simpin dari wilayah Timur dan Bombeng serta Wa’ Saruran dari wilayah Barat.
Pong Massangka lalu terpanggil mengkonkretkan semangat perjuangan bawah tanah para pejuang dalam suatu wadah dengan nama sandi “UNTENDANNI SALU SA’DAN” artinya mengatasi arus yang disimbolkan penjajah.
Untuk memudahkan operasionalnya maka mulailah diintensifkan komunikasi rahasia para pejuang lewat Poros Perlawanan Balusu-Pangli/Bori’-Pangala’ di Utara terus ke Pantilang di Timur, Sangalla’ dan Mengkendek di Selatan serta Rembon dan Buakayu di Barat.
Sesuai kesepakan para pejuang ditetapkanlah target utama waktu itu yakni membunuh Controleur sebagai penguasa tertinggi pemerintah kolonial Belanda di Toraja untuk memberikan shock terapi dan kekacauan bagi serdadunya sehingga diharapkan dapat lebih mudah dilumpuhkan.
Namun sangat disayangkan sebelum terlaksana, para pejuang justru tersandung pembunuhan seorang misionari berkebangsaan Belanda, AA Van de Loosdrehct di Rantedengen Bori’, 26 Juli 1917 patut disesalkan karena:
1.Yang bersangkutan bukanlah target yang direncanakan sehingga mengacaukan rencana mulia para pejuang untuk membebaskan orang Toraja dari penindasan dan pemerasan rezim kolonial Belanada.
2. Pejuang yang sebenarnya adalah ksatria justru dicap Zending dan kalangan gereja sampai hari ini, sebagai para gerombolan avonturir yang haus darah,penjahat dan pembunuh pendeta serta para gembong judi, suatu kumpulan istilah yang sangat tidak bersesuaian dengan dasar ajaran kristiani yakni cinta kasih.
3.Para pejuang harus membayar dengan pengorbanan besar jauh melebihi korbannya yang hanya 1 orang dibanding 23 orang harus menjalani hukuman di tempat pembuangan sebagian diantaranya (antara lain : Ne’ Matandung,Tandibua’, Pong Mangoki’ dan masih banyak yang lain) harus kehilangan nyawa di pengasingan.
Pong Massangka pun nyaris tidak kembali seandainya tak mendapat remisi hukuman 7 tahun dari total hukuman 20 tahun. Ini penghargaan atas keberhasilannya menangkap macan yang sudah banyak menelan korban termasuk anak Kepala Penjara di Nusakambangan.
Segera setelah peristiwa tersesebut perlawanan mereka langsung ditumpas dan para pejuang berjumlah 23 orang diasingkan ke berbagai tempat di Indonesia seperti Nusakambangan, Digul-Tanah Merah dan Sawah Lunto. Setelah itu, praktis tidak ada lagi pergerakan yang mengancam pemerintah kolonial Belanda sehingga lebih muda menjalankan pemerintahannya namun suatu kesyukuran bahwa sejak itu faktor pemicu perlawan para pejuang mulai dihindari dengan lebih mengutamakan pendidikan.
Ketika Tana Toraja dipimpin Bupati Lethe 1961, lalu D.S Rante Salu tahun 1964 pihak keluarga para pejuang mencoba mengusulkan agar perjuangan mereka mendapat pengakuan memang sempat diteruskan ke Kodam XIV Hasanuddin. Namun tak berhasil karena mendapat resistensi dari lembaga keagamaan terbesar di Tana Toraja.
Demikian halnya Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata enggan menulis sejarah ini karena khawatir akan mendapat tantangan yang sama meskipun sudah diusulkan sejak 2009.
Terakhir ketika sejumlah orang memprakarsai sebuah seminar yang diadakan pada tanggal 24 Juni 2011 di suatu tempat di Toraja Utara yang bertujuan mendiskusikan hal-hal kontroversi yang masih berkembang sampai kini khususnya yang mendiskreditkan para pejuang, pihak Gereja Toraja yang sangat diharapkan kehadirannya justru tidak memenuhi undangan panitia meskipun panitia sudah bersusah payah menghadirkan pakar sejarah dari Universitas Hasanuddin, DR. Edward L. Poelinggomang MA, sebagai salah seorang pembicara.
Bupati Toraja Utara, Drs. Frederik Batti Sorring MM, yang membuka acara seminar tersebut juga sempat mengutarakan kekecewaannya akibat ketidakhadiran pihak-pihak yang diundang.
Penulis:Daniel Pong Massangka
Pemerhati Sejarah asal Tana Toraja
Sumber: Tribun Timur.com