|
Yudhi sang pembuat Seimograf fortable |
Jakarta Selalu ada hikmah di setiap musibah. Seperti
yang dialami Yudhi Hernawan Anggrianto (20) yang menjadi korban gempa
Yogyakarta pada 2006 lalu. Bencana itu membuat Yudhi penasaran
bagaimana bisa mengetahui adanya gempa. Yudhi pun membuat alat seismik
portabel!
Yudhi menjadi korban gempa karena dia menetap di Klaten, tak jauh dari pusat gempa. Pada tahun 2010 dia menjadi relawan Merapi.
"Nah
sesudah Mbah Maridjan kena awan panas, dari situ teman-teman memantau
perkembangan dari HT (handy talkie). Dari situ saya penasaran,
bagaimana caranya membuat deteksi getaran, kok bisa secanggih itu
menangkap getaran dari jauh," jelas Yudhi ketika berbincang dengan
detikcom, Minggu (6/5/2012).
Saat itulah Yudhi memiliki ide
membuat alat pendeteksi getaran gempa. Apalagi, minat untuk mempelajari
getaran gempa itu mempertemukannya dengan teman-teman berminat sama
dalam Komunitas Pemerhati Seismik Indonesia (KPSI). Atas bimbingan dari
teman-temannya dalam KPSI pula, Yudhi dibantu mewujudkan ide untuk
membuat alat ini.
Cara kerja alatnya, Yudhi menjelaskan,
memanfaatkan gaya gerak listrik (GGL) seperti bila bermain kumparan dan
magnet, keluarannya akan menghasilkan listrik seperti pada dinamo.
Nah
di atas magnet dan kumparan ini, Yudhi menggantungkan suatu pegas.
Dalam keadaan normal, pegas memang terlihat diam. Namun pegas itu bisa
mendeteksi getaran sehalus apapun, seperti kendaraan lewat atau gempa
bumi. Getaran kecil yang ditangkap pegas itu kemudian diperbesar
arusnya memakai pre-amplifier. Kemudian getaran seismik itu bisa
dipantau menggunakan multimeter atau VU LED Buzzer dengan bunyi,
sebagai pertanda adanya getaran gempa.
Lantas, bagaimana bisa membedakan getaran itu suara kendaraan lewat atau gempa?
"Ada
polanya, ada bedanya kalau ada motor lewat atau gempa. Kalau motor
lewat dari dekat itu suaranya panjang, nggak terputus, 'teetttttttttt'.
Kalau gempa ada polanya, 'teettttt-tit-tit-tit-tit-tit'," jelas pemuda
kelahiran Klaten, 26 Juni 1991 ini.
Dia menambahkan, konsep
alat buatannya ini cara kerjanya mirip seismometer yang dimiliki Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT). Alat ini bisa bekerja baik ketika ditanam
di dalam tanah. Semakin solid tanah dan batuannya semakin baik alat itu
bekerja.
"Syaratnya, alat ini harus dipasang yang jauh dari
aktivitas elektromagnet, seperti adaptor, TV, HP, atau travo besar, itu
kan gaya lilitannya besar. Tapi alat pembaca outputnya bisa dibawa ke
dalam rumah," jelas Yudhi.
Beberapa model alat yang diciptakan Yudhi sudah dipasang 3 unit di Padang. 3 spot alat di
Padang
menangkap kenaikan seismik beberapa hari sebelum kejadian gempa Aceh,
tremor seismik terus terpantau oleh alat itu. Yudhi juga memasang alat
ini di belakang rumahnya sendiri.
Hasilnya? "Alhamdulillah
bisa mendeteksi gempa Aceh 8 SR, dan gempa Sukabumi 5,8 SR. Sampai
Tongas, Filipina, hingga Sumatera, Sulawesi, Alhamdulillah sudah bisa.
Diujicobakan di Merapi yang ada peningkatan aktivitasnya juga sudah
bisa mendeteksi," jelas dia.
Alat sensor getaran ini akhirnya
diberi nama dengan Waspada Meter. Selain di Padang, alat ini juga
dipasang di Yogya, Riau, dan akan dipasang di Bengkulu dan Aceh.
Bentuk
alat Waspada Meter saat belum disempurnakan sebenarnya belum sesempurna
ini. Namun melewati beberapa perbaikan, alat Waspada Meter ini akhirnya
bisa lebih disederhanakan, menjadi portabel dan bisa dibawa ke
mana-mana.
Berapa modal membuat alat ini? "Murah, dulu awalnya
kan punya pemikiran kita bisa memantau dan mendeteksi gempa jarak jauh,
dengan alat murah sederhana yang bahannya ditemukan di sekitar kita,
biaya (pembuatan) tidak sampai Rp 200 ribu," jelas mahasiswa semester 6
Universitas Widya Darma, Klaten, Jawa Tengah, ini.
Melaui
kakaknya yang bekerja di BMKG, Yudhi mengetahui bahwa tanggapan dari
BMKG pun positif dan mengimbau Yudhi untuk mengembangkan alat ini.
Yudhi sudah memperagakan alatnya di depan Staf Khusus Presiden bidang
Penanggulangan Bencana Alam dan Sosial Andi Arief. Andi Arief akan
membantu pendaftaran hak paten di Kemenkum HAM.
"Besok Senin mau
diuruskan hak paten. Ini kan untuk kegiatan sosial kemanusiaan ya,
belum terpikirkan memperjualbelikan alat ini. Membuatnya mudah kok.
Sebenarnya saya nggak terpikirkan sampai segitunya, dan nggak
terpikirkan responsnya sampai sebegitunya," jelas Yudhi.
Meski pintar
ngoprek,
bukan berarti Yudhi merupakan mahasiswa Fakultas Teknik. "Saya
mahasiswa akuntansi. Saya dulu sekolahnya (di SMA) IPA dan memang suka
sains," ujarnya sambil terkekeh.
Putra pertama dari dua
bersaudara pasangan Srianto dan Sri Sumarni ini berharap alat
ciptaannya ini bisa berguna dan menjadi peringatan dini gempa bumi.
"Kita
kan berada di daerah rawan bencana ya. Saya prihatin, tempat saya
sendiri dekat dengan sesar gempa. Berharap alat ini bermanfaat buat
masyarakat dan dapat digunakan seoptimal mungkin untuk penyelamatan
diri (gempa bumi)," tutur pemuda yang hobi bermain alat musik organ ini.
(nwk/nrl)
Posting :
Nograhany Widhi K - detikNews